Bicara
Bukan saatnya saya bicara
Bukan karena saya takut
Bukan karena saya menghindar
Tapi memang bukan saatnya saya bicara sekarang
Saya merasa jika saya bicara sekarang semua akan percuma
Saya akan dinilai bohong
Saya akan tetap dinilai sebagai pihak yang salah
Saya akan dinilai terlalu mudah menyerah
Dan saya akan menjadi saya yang selalu tertuduh
Ini bukan saatnya saya bicara
Dongeng Sebelum Tidur
Lalu saya putuskan untuk melangkah
Memasuki ruang yang belum saya coba sebelumnya
Meninggalkan realita yang selalu membuat saya merasa tenang
Tapi kali ini tidak
Karena langkah saya terus meninggalkan ia yang ada di
belakang
Tatapan saya lurus ke depan
Lalu ada pada suatu ketika saya merasa perlu kembali
Kembali pada ia yang telah lama saya tinggalkan tadi
Mungkin mengambil bekal yang tertinggal
Saya merasa jauh dari sana
Saya merasa begitu lelah di sini
Saya butuh istirahat
Tapi itu justru akan membuang waktu saya
Saya harus segera sampai tujuan di depan sana
Meski saya sakit. Saya lelah. Saya bosan. Saya marah. Saya terjatuh.
Saya menangis. Saya kecewa dan saya terluka.
Misterius
Lalu pada suatu hari langkah saya terhenti di depan
sebuah gerbang yang tak saya inginkan. Bahkan membayangkannya pun saya tak
pernah. Namun saya tetap harus melangkah. Tak ada pilihan.
Seiring dengan langkah ini, kemudian saya tersadar. Bahwa
saya bisa berencana. Tapi Tuhan lebih berhak berencana. Dan rencana Tuhan
terkadang begitu misterius bagi saya.
Ketika menulis catatan ini saya teringat doa yang saya
ucapkan malam kemarin. Benar-benar baru kemarin. Saya berdoa agar Tuhan tidak
melupakan saya. Agar Tuhan tetap menggandeng tangan saya ketika saya melewati
jalan apapun.
Saya sadari memang sering kali saya berpikir tentang
masa lalu dan masa sekarang. Jarang saya berpikir tentang masa depan. Mungkin itu
yang seharusnya saya lakukan. Setidaknya semacam persiapan untuk menerima
rencana Tuhan.
TALI
TALI
Oleh: @diianhp
Bayangkan
bila kamu ada di sebuah gedung. Sebuah gedung yang megah berbentuk setengah
lingkaran. Dindingnya berwarna putih tanpa hiasan atau lukisan dinding. Polos
saja. Lantainya beralas ubin berukuran 30x30 cm juga berwarna putih. Tidak ada
jendela. Tapi ada satu pintu yang besar yang terdapat di salah satu sudut
ruangan ini. Pintunya bercat putih pula. Semua serba putih. Bersih.
Di
dalamnya tidak hanya kamu. Namun ada banyak orang yang kamu kenal rupanya tapi
asing bagimu. Mereka saling bercengkrama. Kadang juga tertawa. Lalu ada saatnya
kamu menyapa mereka. Mereka balas menyapamu. Tapi tunggu dulu, tatapan mereka
padamu tidak bersahabat lebih terkesan sinis dan dingin.
Kamu
lalu terdiam. Tapi otak, hati dan perasaanmu tidak diam. Kamu terus berpikir
apa yang salah dengan diri kamu juga dari diri mereka. Hatimu berkata benar. Tapi
perkataan sering berbanding terbalik dengan kata hati. Nyatanya mereka yang
benar, kamu tidak. Perasaanmu begitu lembut tapi menurut mereka perasaanmu
seperti batu.
Telingamu
juga selalu mendengar. Dalam diam kamu tetap mendengar. Kamu mendengar mereka
bicara tentang sejuknya udara di luar gedung putih ini. Mereka bilang matahari
di luar begitu hangat. Mereka bilang malam selalu terang meski langit tampak
hitam pekat. Mereka bilang titik-titik cahaya di langit itu bukan kunang-kunang
yang sedang menempel di langit. Namun itu bintang. Mereka bilang bulan di luar
berwarna kuning. Kuning mengambang bukan di kali tapi di hamparan angkasa atas
sana.
Mereka
bilang dunia yang seutuhnya dunia ada di luar gedung ini.
Kemudian
kamu perhatikan orang yang bertubuh paling tinggi di dalam gedung ini mulai
berdiri. Tangannya menjulur ke atas. Menggapai tali yang bergelantungan dari
atas langit. Maksudku lngit-langit gedung ini. Entah darimana asalnya. Namun
setelah orang paling tinggi itu sampai di atas, Ia bisa keluar dari gedung
pengap ini.
Kata
salah satu dari mereka itu tali dari Tuhan mereka. Berkat doa mereka selama
ini. Berkat keinginan mereka yang begitu kuat untuk keluar dari gedung ini.
Mulanya
hanya satu yang mencoba keluar dengan memanjat tali itu.
Lalu
dua.
Lalu
tiga, empat.
Lima,
enam, tujuh, delapan.
Terus
bertambah hingga lebih dari sepuluh.
Ya.
Lebih dari sepuluh orang bertubuh tinggi mencoba keluar dari gedung ini. Tak
lama kemudian disusul orang yang bertubuh tak terlalu tinggi. Mereka terus
bersusah payah kadang juga berebut satu dengan yang lain.
Naik.
Jatuh. Naik lagi. Jatuh lagi. Dan naik lagi. Namun tak jatuh lagi.
Beberapa
saat kemudian kamu merasa gedung ini tampak begitu luas juga tak terlalu
pengap. Setelah orang-orang tinggi dan yang tak terlalu tinggi telah memanjat
tali dan keluar.
Kini
kamu mulai ikut berdiri. Mengukur tinggi tubuhmu. Tak juga pendek rupanya.
Terbilang tinggi malah. Bukan! Cukup tinggi. Namun mengapa tak segera berebut
tali juga dengan yang lain? Memanjat keluar dan merasakan dunia yang seutuhnya
dunia seperti kata temanmu. Ikut merasakan bukan hanya mendengarkan.
Dari
tempatmu berdiri, kamu masih melihat tali itu menggantung.
Ada Apa Dengan SGA?
Ada
Apa Dengan SGA?
Oleh: Dian Hendar Pratiwi
Beberapa
minggu yang lalu santer terdengar kabar penolakan penghargaan Bakrie Award oleh
Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma yang kemudian akan saya singkat
sebagai SGA ini merupakan salah satu penulis yang saya “pandang”. Dia seorang
jurnalis yang piawai menulis cerpen, puisi dan esai. Memang belum banyak
tulisannya yang saya baca. Tapi dari sedikit itu saja sudah menimbulkan
kecintaan saya pada karakter tulisannya yang sarat dengan kritik sosial.
Bila
selama ini saya mengetahui semacam tagline “Bila mulutmu dibungkam tajamkan
penamu,” namun dari dia saya juga mengenal tagline “Ketika jurnalisme
dibungkam, sastra harus bicara.” Tagline ini sebenarnya saya ambil dari judul
esainya.
Lalu
beberapa minggu lalu saya terusik dengan berita yang beredar. Saya membaca di
beberapa media on-line ketika itu. Penasaran dengan apa yang terjadi, saya
menelusuri blog pribadi SGA. Di sana secara resmi dia menyatakan menolak
pemberian penghargaan itu dengan alasan penghargaan itu lebih layak diberikan
pada orang lain.
Ini link pernyataan sikapnya:
Saya
mengenal tulisan SGA begitu berani, lugas dan tegas. Namun kali ini saya tidak
mendapatkan itu. Pernyataan sikap yang ditulis di blog pribadinya membuat saya
berpikir apakah itu hanya alasan yang dibuat-buatnya saja?
Menilik
ke belakang, beberapa jurnalis dan sastrawan juga pernah melakukan aksi serupa. Sitor Situmorang pada tahun 2010 pernah menolak penghargaan bidang
sastra Bakrie Award. Beberapa tahun sebelumnya, Franz Magnis-Suseno, seorang yang
dikenal sebagai pastor dan filsuf yang pernah menerbitkan beberapa buku juga
menolak Bakrie Award 2007.
Tak
hanya itu mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef juga menolak anugerah Bakrie
Award. Daoed Joesoef mendapat anugerah Bakrie Award bidang pemikiran sosial. Kemudian
secara mengejutkan di tahun yang sama, 2010, budayawan yang juga tokoh pers
Goenawan Mohamad mengembalikan penghargaan Bakrie Award yang sebelumnya diterima
Gunawan pada 2004.
Para
tokoh tersebut menolak atau mengembalikan penghargaan Bakrie Award dengan
alasan yang jelas. Mereka ini merasa Bakrie perlu menuntaskan kasus terkait PT.
Lapindo. Seperti yang diungkapkan Romo Franz, beliau menolak karena keluarga
Bakrie merupakan pemilik mayoritas PT Lapindo Brantas yang sedang bermasalah
dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo. (itoday.co.id)
Saya
berharap SGA juga berstatement demikian. Setidaknya menjawab pertanyaan publik
–seperti saya- yang bermunculan. Jangan-jangan SGA hanya melakukan aksi
solidaritas saja, karena teman sastrawan lainnya pernah melakukan hal yang serupa.
Diposting oleh diidii di 21.41
Label: About Me, Jurnalistik, Sastra
Pulang! (Part 2)
Pulang!
Momentnya
lagi tepat!
Minggu-minggu
ini saya sedang dihinggapi perasaan yang tak karuan. Kalau digambarkan seperti
sedang makan permen nano-nano 5 butir sekaligus dan membiarkannya terbenam
dalam mulut. Jadi berasa banget tu manis, asem, pahit, asin, getir, dan umami
mungkin –saya akui bagian ini sedikit lebay-.
Pertama,
soal akademis saya. Walaupun saya tak sendiri tapi saya merasa cukup kewalahan
mengurus PKL ini. Ada saja kendala yang saya alami. Nggak perlu diceritakan di
sini karena sama saja mengungkit hal yang tak ingin saya ungkit. Tapi saya
masih optimis, Tuhan Maha Asik, semoga PKL yang cukup tertatih –bahkan sangat
tertatih- ini akan ada hikmahnya buat saya.
Kedua,
saya sedang terjerat masalah dengan salah seorang teman saya –awalnya- kemudian
berdampak pada orang-orang disekeliling kami. Jujur saja, perasaan ini sangat
mengganggu pikiran saya. Papa saya selalu berpesan, jangan pernah menyakiti
perasaan orang lain. Tapi dalam seminggu ini saya telah menyakiti 2 atau mungkin
3 perasaan orang lain.
Pada
tulisan sebelumnya, saya menulis bahwa saya benar-benar menyesal dengan
tindakan bodoh ini. Di sana pula saya menulis bahwa saya merasa bukan diri saya
biasanya.
Sesaat
kemudian saya merasa takut. Saya takut dibilang licik. Mungkin berapa kali saya
jelaskan, saya akan tetap dinilai licik, jahat, tidak manusiawi, penusuk dari
belakang atau ekstrimnya saya akan dituduh merendahkan diri guna mendapat
simpatik orang. Saya takut itu semua dan saya sedang merasa di bawah ancaman
itu.
Saya
menyakiti perasaan orang-orang yang saya banggakan. Mereka kecewa dan bodohnya
saya baru sadar tindakan dan pemikiran saya salah setelah mereka mengatakannya
pada saya. saya makin kecewa dengan diri saya. kepercayaan diri saya makin
hilang. Saya nggak punya muka untuk bertemu dengan mereka. Meski saya jamin,
saya akan tetap bersikap professional tapi kejadian ini menjadi pelajaran
berharga buat saya.
Dalam
kondisi seperti ini siapa yang tak ingin pulang. Jujur saja, saya capek. Saya ingin
sejenak menghirup udara di kamar rumah saya. memeluk mama saya, memasak untuk rumah,
menemani papa saya nonton tivi, makan malam ber-3 lalu muncul cerita-cerita
lucu di dalamnya.
Tapi
lagi-lagi saya bicara keadaan. Keadaan mengharuskan saya tetap bertahan di kota
ini. Tuhan memberi titah pada saya untuk tetap di sini. Mungkin sedang mendidik
saya dengan pengalaman dan kisah yang jalannya harus saya lalui dengan rasa bingung,
pusing dan entahlah harus bersikap apa.
“Perasaan saya kacau, Tuhan.
Bagaimana denganmu?”
Pulang! (Part 1)
Pulang!
Saat
ini saya sedang berada di depan ruang G kampus TP –kampus saya-. Beberapa menit
yang lalu, mungkin sekitar 45 menit, saya mengumpulkan revisi usul PKL ke meja
dosen pembimbing. Ya, inilah kesibukan saya pasca kegiatan akademis dan
organisasi di semester lalu.
Suasana
sedang benar-benar sepi, karena memang sekarang sudah memasuki musim libur
semester genap. Beberapa teman saya bergerombol membentuk koloni di depan ruang
dosen. Apalagi kegiatannya kalau nggak nungguin dosen.
Lalu
saya sengaja menyendiri di sini. Dengan earphone yang memutar lagu-lagu
kesukaan saya lalu membuka laptop dan on-line. Sesaat kemudian saya menyadari
sesuatu. saya merindukan suasana seperti ini. sepi. Sendirian.
Saya
menghirup nafas dalam-dalam. Terlintas pula bayangan orang tua saya. saya
rindu. Mungkin mereka juga. Baru kemarin saya pulang. Hanya beberapa hari untuk
keperluan pembuatan e-ktp. Mama sakit kala itu. dan ini pertama kalinya aku
melihat mama nggak punya semangat. Dia bilang, dia merindukanku. “Aku juga,” kujawab
dalam hati saja.
Cerita Hati
Mama
saya selalu berkata, “yang tau keadaan itu kamu sendiri. Selama itu positif,
baik untuk kamu dan nggak mengganggu LAKUKAN!”
Setiap
keputusan selalu beresiko. Itu konsekuensinya. Kali ini saya benar-benar tidak
bisa berpikir logis. Saya juga tidak mengikuti kata hati kecil saya. Saya
merasa bukan saya biasanya. Saya merasa menjadi orang lain. Saya mengikuti
pandangan kasat mata.
Saya
melihat setiap orang akan mampu ketika dia punya ambisi, punya harapan dan
punya cita-cita. Saya pikir itu adalah tekad dan tekad menjadi dasar dari
langkah seseorang. Kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri, bagaimana
tekad saya? Apa tujuan saya? Apa ambisi, harapan dan cita-cita saya.
Saya
bisa menjawab itu semua dengan lantang dalam hati. yaa..hanya dalam hati. Tapi
saya terlalu munafik. Saya membohongi diri saya sendiri. Apa yang saya ucapkan
nyatanya berlawanan dengan hati saya. Saya tidak bisa berpikir jernih kali ini.
Ini
sifat buruk saya, saya terlalu bodoh untuk membiarkan orang lain berkembang
padahal saya sendiri belum berkembang. Seorang teman saya berkata kelak saya
akan menyesal jika selamanya saya selalu mengambil keputusan yang tidak
mengikuti kata hati. Saya berani bersumpah. Ini pertama kalinya bagi saya. Dan
mungkin benar, saya menyesal.
Belajar dari Kemenangan Regina “Idol”
Belajar dari Kemenangan Regina
“Idol”
Oleh Dian Hendar Pratiwi
“Dan
yang menjadi The Next Indonesian Idol, Indonesia memilih.. REGINA!!!”
Begitulah
kira-kira yang diserukan Daniel Mananta, presenter acara ajang pencarian bakat
menyanyi, Indonesian Idol. Gemuruh sontak meraung di setiap sudut bangku
penonton. Pelukan selamat langsung disematkan Sean, kompetitornya.
Seperti
yang telah kita ketahui bersama dari ajang tersebut kontestan asal Jakarta,
Regina, dinobatkan menjadi Idola baru Indonesia. Kontestan tertua di Indonesian
Idol 2012 ini mengaku telah mengikuti 6x ajang Indonesian Idol dan selalu
gagal. Namun berkat kerja keras, tekad, kegigihan dan kemauannya untuk terus
belajar mengantarkannya menjadi The Next Indonesian Idol. Tak tanggung-tanggung
Regina tak pernah sekalipun berada di peringkat bottom three.
Dari
tontonan ini akhirnya membuat saya berpikir bahwa lagi-lagi kita bicara soal
kerja keras. Kerja keras dalam berproses. Regina tidak sekali jatuh. Namun berkali-kali.
Dilangsir oleh beberapa media on-line,
tahun ini juga menjadi tahun terakhir bagi usianya untuk mengikuti ajang
tersebut. Jika dia jera dan tidak mengambil form pendaftarannya lagi waktu itu,
dia tidak akan ada di posisi ini.
Mungkin
kegagalannya kala itu bukan menjadi hal yang kemudian disesali bagi Regina. Dia
terus belajar dan mengevaluasi diri. Secara tidak langsung kegagalan-kegagalan
berikutnya semakin mendewasakannya. Dalam arti dewasa dalam bersikap dan
menerima kenyataan. Regina tau masih ada yang salah dan perlu dibenahi untuk maju
di Idol selanjutnya.
Menurut
saya Regina bukan hanya orang yang beruntung tapi orang yang memang pantas
menjadi juara. Dia mau belajar dengan segala kerja keras dan kegigihannya.
Tekadnya kuat dan tujuannya jelas yaitu menjadi sempurna diajang ini. Bila dia
akhirnya berhasil ini merupakan buah dari pembelajaran pasca kegagalannya yang
lalu.
Hal-hal
sepele macam inilah yang seharusnya bisa kita pelajari. Sekali lagi, kerja keras, tekad yang kuat, gigih, terus
belajar dan mengevaluasi diri menjadi modal utama di setiap perjalanan.
Perjalanan yang kemudian kita sebut itu proses. Proses yang kemudian
mendewasakan kita untuk menerima dan mengerti arti dari sebuah kegagalan.
“Harus diakui bahwa manusia hidup
butuh pengakuan. Tapi yang harus diyakini adalah proses untuk bisa hidup dan
bertahan itu lebih penting dari sebuah pengakuan. (-dHp-)”
Diposting oleh diidii di 05.31
Label: Jurnalistik
Menulislah Dari Hati
Menulislah dari hatimu..
Menulislah apa saja yang dapat
kau lihat, dengar dan rasakan..
(dHp)
Bagi saya, menulis adalah cara
termudah untuk menggambarkan pikiran, perasaan dan tanda tanya. Dulu, ketika SD
saya memaknai menulis sebatas curhat di buku diary. Saya memang suka curhat. Tapi
lebih dari itu, saya suka menuliskan curhatan saya di sebuah buku kecil dan
selalu saya simpan dalam laci meja belajar saya. Saya ingat, hampir tiap hari
minimal sekali saya menulis di buku diary itu. Saya biasa menulis buku diary
saat malam tepat sebelum saya tidur. Saya menulis apa yang saya kerjakan
seharian itu. Bagaimana guru-guru saya di sekolah, teman sepermainan, kadang
kejengkelan saya dengan orang tua, dan kadang pula tentang pria yang pernah
saya sukai di jaman itu. Yaa.. kelas 5 SD adalah pertama kalinya saya suka
memperhatikan lawan jenis saya. Dia senior saya, Aprilian namanya. Sekarang dia
dimana yaa?? Hehe..
Selain menulis saya juga suka
membaca. Saya langganan majalah Bobo ketika itu. Saya lupa dulu Bobo terbit
bulanan atau mingguan ya? Kalau nggak salah, terbit mingguan, tiap hari Kamis. Yang
jelas saya ingat, saya selalu menunggu Mas Pengantar Majalah ini di depan pagar
rumah. Lalu halaman pertama yang akan saya baca adalah Cerita Nirmala Dari
Negeri Dongeng lalu Bona dan Rong-Rong. Dulu saya selalu terkesima dengan 2
kisah itu. Mungkin kalau sekarang saya bisa mendeskripsikan keduanya adalah
kisah yang sederhana dengan visualisasi yang mudah terekam dalam benak
anak-anak. Hhmmm..ada yang masih ingat dengan kisah-kisah mereka?
Sekarang, saya semakin tahu bahwa
menulis tidak sebatas buku diary dan membaca tidak sebatas bacaan sederhana dengan
visualisasi yang menarik. Rasa penasaran saya muncul ketika saya dihadapkan
dengan sesuatu. Kadang lebih dari itu, berawal dari emosi yang ingin saya
luapkan dengan cara saya, yaitu lewat tulisan
Mudahnya begini, saya menulis tentang
segalanya yang saya mau tulis. Saya ingin menulis berita yaa saya cari data
kemudian saya tulis. Saya ingin beropini yaa saya kumpulkan “emosi” saya dan
fakta pendukungnya. Lalu bila saya ingin menulis dengan bahasa yang
dipanjang-panjangkan dan bertele-tele hingga terkesan lebih indah dari berita serta
kadang sifatnya sindiran yaa saya akan menulis cerpen. Dan bila ingin menulis
bahasa indah tetapi malas bertele-tele yaa saya tulis puisi. Jadi saya tidak
sependapat jika seorang penulis harus konsekuen dengan bidang tulisannya. Memang,
tulisan jurnalistik jauh berbeda dengan sastra. Namun menurut saya keduanya
hadir bukan untuk disekat namun untuk direkatkan. Karena tulisan jurnalistik
dan sastra bermula dari bidang yang sama, yaitu literasi.
Beberapa hari yang lalu seorang
teman saya bertanya, “Pernahkah mengalami kesulitan menulis?” Saya jawab;
SERING. Kenapa? Meskipun menulis sudah saya lakukan sejak SD namun setiap kali
menulis judul baru saya selalu memposisikan sebagai penulis baru. Penulis yang
tidak tahu apa-apa tentang teknik menulis. Hingga kemudian memaksa saya untuk
mencari data yang baru, mencari ide kreatif yang baru, analisis yang lebih
baru, dan menciptakan hasil tulisan yang baru yang sebelumnya jelas belum pernah
saya tulis. Semuanya baru. Jadi jangan takut merasa kesulitan menulis karena
itu merupakan awal dari keharusan kita menemukan hal-hal yang baru.
Jadi menurut saya, lupakan segala
tulisan yang lalu, jadilah yang baru disetiap judul tulisan yang baru. Gali semuanya.
Anggap belum pernah menulis. Jangan pikirkan teknik menulis yang baik di awal. Singkirkan
sejenak. Karena itu akan mematikan kreativitas. Tulis dulu semua apa yang bisa
ditulis. Saat editing, adalah waktu yang tepat untuk memperhatikan segala yang
tadi disingkirkan. Ini saya terapkan dalam menulis berita, beropini maupun
menulis cerpen dan puisi.
Tidak usah takut kehilangan ide. Ide
datang dengan sendirinya. Tangkap apa yang terlintas di benak kita. Tuangkan dalam
kalimat. Bikin yang sederhana tapi bikin penasaran. Meski saya akui, itu tak
mudah. Namun, itu akan menjadi mudah bila tahu kuncinya, yaitu membaca. Cari referensi
dari berbagai bacaan.
Bacaan apapun bisa dibaca. Jangan
membatasi diri. Seperti menulis, membaca juga saya lakukan semau saya. Saya ingin
baca koran, majalah atau buku filsafat yaa saya baca. Kalau saya merasa bosan,
saya letakkan. Begitu pula dengan buku kumpulan cerpen, puisi atau novel. Buku bacaan
itu bukan sekedar dibaca tapi dimengerti kenapa penulis menulis buku semacam
ini. Apa yang menarik di dalamnya lalu terapkan dalam tulisan. Jadi saya tidak
pernah bisa menyelesaikan buku yang dipinjam dari persewaan buku. Lain lagi
kalau komik, mungkin sehari bisa berkomik-komik.
Diakhir tulisan ini, saya akan
menutupnya dengan pertanyaan teman saya yang lain. Dia bertanya, “Bagaimana
mengawali sebuah tulisan?” Saya jawab, “BACALAH.” Kemudian dia bertanya
kembali, “Lalu?” Saya jawab lagi, “BACALAH.” Teman saya mulai mengerutkan
dahinya, “Lalu setelah membaca?” tanyanya. Saya jawab lagi, “BACALAH.” “Iya,
setelah membaca?” tanyanya mulai kesal. “Menulislah.”
Diposting oleh diidii di 08.45
Label: Jurnalistik
Tulisan dari Suatu Hari..
“Kita
besar di Agrica
Jadi
kita harus membesarkan Agrica..”
Itu
adalah sebait kalimat yang di ungkapkan Pimpinan Umum saya, Mas Arif Ardiawan. Kalimat
yang ditulisnya via pesan singkat itu yang pada akhirnya membuat saya
akhir-akhir ini berpikir. Layaknya pekerjaan kita di Agrica --pencari berita
karena rasa ingin tahu, peduli dan emosi pribadi, tanpa bayaran—timbul 5W+1H
dalam pikiran saya.
Apa
yang bisa saya lakukan? Kapan saya mulai harus melakukan? Dimana seharunsya
saya berada? Mengapa saya di sini? Siapa yang akan mendampingi saya nanti? Dan Bagaimana
cara saya melakukannya?
Pertanyaan-pertanyaan
itu yang kemudian timbul-tenggelam dalam pikiran saya. Seperti ada magnet yang
mau tak mau saya tertahan di sana, untuk berdiam sejenak memikirkannya. Terutama
saat saya di kantor, sebuah sekre yang biasa tempat kita berkumpul.
Saat
seperti ini kadang saya merasa begitu bodoh. Kenapa saya harus memikirkan
pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya bingung sendiri. namun semakin saya
merasa begitu bingung lantas merasa bodoh, saya semakin menggalinya.
Saya
teringat apa yang diucapkan mbah kala up gradding beberapa minggu yang lalu. “Yang
saya dapatkan di Agrica banyak. Saya dapatkan Standy, Em, Pipit, Nhya, Dinacyl,”
katanya sambil menunjuk mereka satu per satu. Dan inilah yang tidak saya
sadari.
Sore
ini saya sadar, seharusnya saya membuang jauh pertanyaan-pertanyaan yang saya
buat sendiri tadi. Harusnya saya membuat pertanyaan yang lebih sederhana. “Apa
yang sudah saya dapatkan di Agrica?”
“Saya
mendapat pelajaran yang tidak saya dapatkan dari dosen di bangku kuliah. Tentang
sebuah kerja keras, tanggung jawab, menghargai, keluarga, komitmen, visi, misi
dan semua terangkum dalam sebuah kata Profesionalisme.”
Jurnalistik
dan keluarga baru, adalah alasan sederhana saya bertahan..
Kamu...
Oleh: Dian Hendar Pratiwi
Bila rangkaian huruf-huruf itu adalah namamu
Ijinkan aku mengejanya perlahan penuh rindu..
Senja merapat turun. Sesaat setelah semuanya berlalu dengan senyum dalam hati. Kau melangkah pergi. Dan aku masuk ke dalam rumahku. Semua nampak seperti biasanya namun tidak pada hati ini. Kau yang telah lancang masuk dalam hatiku yang sekian lama tertutup debu keputusasaan kini meninggalkan jejak.
KAMPUS goes to KOMPAS
Berakhirnya ujian-ujian dan tugas-tugas akademik semester ini ditutup dengan acara jalan-jalan bareng LPM AGRICA ke Jakarta. Grand tema acara kita adalah "Kampus goes to Kompas". seperti judulnya udah kelihatan bahwa salah satu tujuan kita di Jakarta nanti adalah Kompas.
Oke. Perjalanan di mulai dari kampus pertanian UNSOED hari Selasa (17/1/2012) sekitar jam 18.00 WIB.
inilah foto suasana di dalam bus pertama kali kita mau berangkat.
yang depan putih2, yang belakang item2. kameramennya ga handal :(
Diposting oleh diidii di 06.18
Label: Jurnalistik
Opini Untuk Mas Presiden
Pergeseran Paradigma Politik Kampus
Oleh: Dian Hendar Pratiwi
Politik kampus nampaknya mengalami pergeseran paradigma. Dunia kampus yang sejatinya menjadi central pembelajaran intelektualisme nyatanya kini omong kosong belaka. Demi meraup kekuasaan tertinggi kemahasiswaan, segala kecurangan dan kebohongan dihalalkan. Hal ini diimbangi dengan berbagai macam janji-janji yang terdengar justru menjijikan. Mereka tidak menyadari, apa yang mereka umbar adalah serangkaian masalah-masalah baru yang nantinya membayangi.
Cukup bermodalkan lihai memanajemen isu, para mahasiswa ini beramai-ramai terjun ke kancah politik demi kekuasaan dan kemenangan golongan. Timbul istilah black campaign atau kampanye hitam. Kampanye politik yang sangat rapi dan lihai dilakukan oleh para tim sukses calon. Saling menjatuhkan lawan politik dengan menjelek-jelekkan bahkan memfitnah demi membunuh citra lawan politik. Inilah tren politik yang terus berkembang dengan pesat.
Sebenarnya, berpolitik adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, dalam politik selalu ada ”aturan main” dan etika yang harus diindahkan tanpa bertolak belakang dengan tujuan yang diharapkan. Dalam frame Mahatma Ghandi, seorang tokoh revolusioner India, setiap tujuan yang ingin dicapai harus selaras dan seimbang dengan metode dan tata cara yang dilakukan. Mustahil hasil dari tujuan dinilai baik jika metode yang digunakan adalah dengan jalan yang buruk. Begitulah kiranya yang dimaksud dengan politik yang ”bersih”. Sebagaimana pernah diungkapkan Plato bahwa politik adalah seni mempengaruhi orang lain dengan kecerdikan dan kecerdasan, Bukan dengan keculasan dan kebohongan serta cara-cara keji yang menghalalkan segala macam aturan demi meraih keinginan.
Diposting oleh diidii di 02.21
Label: Jurnalistik
When First I Saw You, I'm Fall in Love
"..Let me love you. With all my heart.
You are the one for me. You are the light in my soul.
Let me hold you. with my arms. I wanna feel love again.
Let me hold you. with my arms. I wanna feel love again.
And I Know, love is you.."
Aku tak pernah menyangka sebelumnya.
Bila akhirnya semua bermuara padamu.
Sejak ujung mata kita saling beradu dan sungging senyummu terlempar hingga menundukkan nyali.
Kau yang sempurna.
Tak pernah terpikirkan untuk kubuat perasaan seperti ini.
Bahkan aku tak percaya, hati bisa bertaut hanya karena pandangan pertama.
Namun, ketika waktu mengunci tatapan kita, aku menyerah.
'aku terjebak perasaan.’
Namun aku memilih diam saja.
Membenam perasaan.
Berperan menjadi ahli nujum.
Menerka nerka, 'samakah yang kau rasakan padaku?'
Nyatanya hingga detik ini kita masih sibuk membangun jarak.
Semukah perasaan ini?
Aku memang tak pandai menerjemahkan rasa.
Atau mungkin, aku terlalu gengsi menepis tak ada cinta pandangan pertama
Entahlah..
Biarlah waktu yang mengunci tatapan kita sejenak.
Karena, ‘aku jatuh cinta kali ini.’
Langganan:
Postingan (Atom)