1 komentar

Cerpen---PRIA Tengah Abad


PRIA Tengah Abad
Oleh: Dian Hendar Pratiwi
Pukul 22.00 WIB. Seorang pria berkacamata plus masih menatap tajam layar komputer di hadapannya. Jika diperhatikan rambutnya mulai nampak memutih alami. Aku ramalkan usianya tak lagi muda. Tak layak dipanggil Mas. Dengan mengenakan sarung dan kaos oblong bergambar identitas salah satu Parpol, pantatnya masih enggan beranjak dari kursi plastik itu.
Wajahnya nampak lelah namun gurat-gurat di dahinya masih menunjukkan ketegasan masa mudanya. Bola matanya lincah berpindah-pindah. Dari layar komputer ke keyboard ke blocknote lalu ke layar komputer lagi ke keyboard lagi dan ke blocknote lagi. Begitu seterusnya. Kakinya bergerak-gerak di luar kendalinya guna menghindari gigitan nyamuk yang membutuhkan makanan dari darahnya yang mulai pahit. Nampak sesekali bibirnya komat-kamit sebelum mantranya dituangkan dalam kalimat.
Nama lengkap Hendrick Jamari. Jenis kelamin laki-laki. Usia 56 tahun. Agama islam. Domisili Semarang. Pekerjaan wartawan. Status berkeluarga dengan dikaruniai seorang anak gadis.
Bersama terang bulan dia tetap hanyut dalam kesibukannya. Agaknya malam larut tak menjadi soal. Tak sedetikpun dia melirik ke jam dinding yang terus berdetak meninggalkan sore. Jemarinya masih terlalu lincah di malam yang semakin dingin. Esok pagi ketikannya harus selesai.
Rokok dipilih menjadi karibnya setiap malam. Rasa kantuknya seolah terbakar hilang bersama berlalunya asap rokoknya. Mungkin rokoklah yang paling mengerti dengan apa yang dikerjakannya. Seperti pada suatu malam, ketika aku mencoba mengajaknya berbincang dari hati ke hati dia justru menyuruhku membelikan rokok dan kembali berkutat dengan kesibukannya ketimbang mendengarkan aku berbicara. Ada rasa cemburu.
Seringkali aku maupun istrinya menasehati untuk menghentikan kebiasaan merokoknya. Satu malam satu bungkus habis dihisapnya. Hingga akhirnya pada suatu masa dia sadar rambutnya mulai memutih. Lalu dia memutuskan untuk menghentikan silaturahminya dengan rokok. Bukan karena nasehat istrinya apalagi aku. Lagi-lagi karena pekerjaannya. Dulu dia merokok sebagai teman kerjanya sekarang dia berhenti merokok demi memperpanjang usia kerjanya.
Awalnya aku tidak mengerti dengan apa saja yang dilakukan seorang wartawan. Setahuku dia selalu ke kantor pagi-pagi lalu pulang disore hari. Selang beberapa jam setelah makan malam bersama keluarganya dia kembali ke teman-temannya; computer-keyboard-blocknote. Pekerjaannya benar-benar menyita waktu
“Autis mungkin.” Kesanku dalam hati saja.
Pernah di suatu siang aku sengaja mengajaknya berkencan ke mall. Walaupun sebenarnya aku tak terlalu berharap ia menyanggupi permintaanku. Aku ingin membeli beberapa pasang baju ketika itu.
“Bisa kan lain hari? Masih banyak yang harus kuketik.” Ujarnya.
“Pengennya hari ini. Mau dipakai besok.”
Ternyata dugaanku memang benar, dia menolakku demi ketikannnya. Bukan lagi cemburu namun juga kesal yang aku rasa. Aku bahkan jadi mengutuk pekerjaannya adalah pekerjaan yang membosankan.
 “Baiklah.” Jawabnya kemudian. Entah karena merasa kasihan padaku atau memang dia juga ingin menyegarkan pikirannya sejenak. Akhirnya kami berdua pergi berboncengan. Dengan tak lupa blocknote dan pulpen –sebagai senjata wajib-.
“Kalau-kalau di jalan nanti ada berita bisa langsung ditulis.” Sederhana ungkapnya.
“Yaelaaahhh…sebegitunya amat sih?” Lagi-lagi hanya dalam hati aku berkomentar. Sudah beruntung dia mau menemaniku menghilangkan penat. Aku harap dia juga akan merasakan hal yang sama denganku. Get refresh!
Sebenarnya aku cukup dekat dan mengenal sosoknya. Namun tak pernah sedikitpun terlintas di benakku untuk menjadi sepertinya. Mengenal pribadinya yang berkarakter keras akupun tahu. Dia orang yang selalu berpikiran lugas. Dia selalu melihat masalah yang dihadapinya dari sudut pandang yang berbeda. Sifatnya inilah yang diam-diam mengharuskanku untuk mengaguminya.
Hanya mengagumi dan tetap sama, aku tidak ingin menjadikannya sosok yang hebat. Aku pikir dia hanya pintar bermain kata-kata dalam memanajemen konflik atau menyulut masalah. Aku sering menyamakan pekerjaannya dengan pekerjaan penyebar gosip. Hanya karena takut tak dapat berita maka digali saja gosip-gosip yang kemungkinan layak untuk disajikan ke publik dan mendapat respon lebih.
“Ini pekerjaan yang menyenangkan buat saya. Saya belajar otodidak dan saya menjalaninya dengan senang hati.” Ujarnya padaku di suatu sore depan rumahnya.
Dia memang mengawali karirnyanya dari bawah. Dia tidak pernah bersekolah jurnalistik sebelumnya. Masa remajanya yang tidak seindah masa remajaku membuatnya memutar otak untuk bagaimana caranya bertahan hidup. Menulis dan mencoba mengirimkan tulisannya dari satu media cetak ke media cetak lainnya. Kegagalan sudah bukan menjadi masalah baginya. Dia selalu mencoba lagi dan lagi hingga akhirnya kartu Pers terjangkau olehnya.
“Entah itu terjadi berapa tahun silam.” Gumamnya memikun.
Lalu aku sendiri? Apa yang aku sibukkan selama ini? Tanpa aku sadari hampir setiap hari aku meluangkan waktu di depan laptop untuk menulis. Di buku-buku kuliahku kalau diteliti banyak coretan kalimat sederhana yang biasanya akan aku kembangkan lagi kalimat per kalimat ketika berhadapan dengan laptop. Lalu kebiasaan Hendrick yang selalu membawa buku kecil dan pulpen kemanapun dia pergi itupun aku lakukan.
“Jalan-jalan ngapain bawa buku? Berasa kuliah aja.” Sindir salah seorang sahabatku ketika kami berencana menghabiskan akhir pekan.
“Kalau nanti di jalan ada inspirasi bisa langsung di tulis.” Jawabku sederhana.
“Aaahh..Lebay lo!”
“Bukan lebay. Tapi memang inspirasi yang paling inspiratif datang ketika kita tidak memaksa mencarinya.” Aku menjawab dengan senyuman. Tanpa kusadari pula aku mulai meniru kebiasaan Hendrick
Kemudian dua tahun silam aku bergabung dengan komunitas jurnalistik di kampusku, yaitu sebuah Lembaga Pers Mahasiswa. Aku hanya ingin memperdalam hobiku. Aku suka menulis. Aku suka menulis apa saja yang ada di otakku. Hingga aku rasa hobiku butuh tempat khusus selain di laptop. Aku butuh berkumpul dan berbagi dengan mereka yang juga berhobi sama. Sekali lagi, hobi lama yang baru aku sadari ternyata mengasikkan.
Mengasikkan? Yaa!
Kini aku mulai sedikit mengerti sapa saja yang dikerjakan seorang wartawan. Jurnalistik yang di dalamnya terdapat kegiatan tulis menulis adalah hal yang paling mengasikkan. Pantas saja kalau dia memang tak pernah jauh-jauh dari blocknote dan komputernya. Kemanapun dia pergi tak lupa mengantongi buku kecil dan pulpen. Menarik!
Tak salah jika seorang Hendrick Jamari enggan meninggalkan tanggungannya. Aku pikir alasannya mengetik tidak semata-mata untuk menghidupi keluarganya. Namun ia berkutat siang dan malam karena memang hobinya itu mengasikkan. Hobi yang kini telah menjadi pekerjaannya. Ternyata aku tak lagi mengagumi sosoknya namun juga meniru kebiasaannya.
“Kapan kamu bisa nulis?” Sindirnya suatu hari.
Aku memang terlambat untuk menyadari kemampuanku. Kemampuanku yang aku dapat juga dari dia. Dari dia yang selama ini ada di sampingku. Dari dia yang selama ini memberiku inspirasi. Dari dia yang terus memberi motivasi tanpa pernah aku sadari sebelumnya. Sindirannya itulah yang lagi-lagi tanpa sadar kujadikan motivator. Kelak suatu hari nanti aku buktikan padanya aku bisa. Aku bisa menulis seperti dia bahkan lebih. Aku tak hanya kagum padanya tapi juga bangga. Aku bangga memanggilmu “PAPA.”
Pukul 22.00 WIB. Seorang pria berkacamata plus masih menatap tajam layar komputer di hadapannya. Jika diperhatikan rambutnya mulai nampak memutih alami. Aku ramalkan usianya tak lagi muda. Tak layak dipanggil Mas. Dengan mengenakan sarung dan kaos oblong bergambar identitas salah satu Parpol, pantatnya masih enggan beranjak dari kursi plastik itu.
Wajahnya nampak lelah namun gurat-gurat di dahinya masih menunjukkan ketegasan masa mudanya. Bola matanya lincah berpindah-pindah. Dari layar komputer ke keyboard ke blocknote lalu ke layar komputer lagi ke keyboard lagi dan ke blocknote lagi. Begitu seterusnya. Kakinya bergerak-gerak di luar kendalinya guna menghindari gigitan nyamuk yang membutuhkan makanan dari darahnya yang mulai pahit. Nampak sesekali bibirnya komat-kamit sebelum mantranya dituangkan dalam kalimat.
Nama lengkap Hendrick Jamari. Jenis kelamin laki-laki. Usia 56 tahun. Agama islam. Domisili Semarang. Pekerjaan wartawan. Status berkeluarga dengan dikaruniai seorang anak gadis bernama Dian Hendar Pratiwi.

1 komentar

Ayam Saja Berkokok


Ayam Saja Berkokok
oleh Dian Hendar Pratiwi

11.35 WIB
Wajahnya tegas. Alisnya mengeryit menyatu di tengah terkadang, tanda seorang pemikir. Pipinya berisi. Bukan karena bengkak tapi memang tembem. Gurat-gurat lehernya bergelambir. Perutnya mengembung seperti ikan gembung tapi bukan pria yang sedang hamil. Dia tulen dan jantan. Aku yakin itu. Majikanku yang bilang. Walaupun Majikanku belum pernah membuktikannya. Masih mahal dicoba katanya suatu hari padaku. Majikanku ingin menjajalnya perlahan.
Setiap kali kemari pakaiannya selalu rapi. Nggak serampangan seperti teman  Majikanku yang lain. Ngobrol ngalur ngidul, ngomongin orang, ngerokok, kadang mereka juga setengah mabuk di sini. Apalagi suara kendaraan mereka yang bising. Aku tak suka ! Tapi entah sepertinya Majikanku lebih betah ber-ha-ha-hi-hi dengan teman-temannya daripada Dia yang sopan ini. Namun hanya teman-temannya lhoo.. Majikanku seorang gadis remaja yang pintar membawa diri. Mudah bergaul dengan siapa saja. Termasuk ketika dengan teman-temannya yang tidak kusuka atau dengan si Dia.
Setelannya hari ini kaos coklat muda bergambar Semar, salah satu tokoh pewayangan dalam cerita Punakawan di Jawa. Celana jeans hitam panjang dan kaos kaki putih bergaris hitam yang tetap Ia kenakan ketika masuk ke rumah Majikanku. Necis. Hanya saja jaket abu-abunya yang sedikit merusak penampilannya. Mungkin perlu dicuci. Aku tidak memperhatikannya mendalam tapi aku tahu itu.
Seperti biasa Dia kemari bukan untuk menemuiku tapi Majikanku. Tak apa. Aku malah akan bisa bebas memperhatikannya. Dia masih tetap enggan berbicara. Tak satu katapun keluar dari mulutnya. Puasa ngomong mungkin. Ku lihat Majikanku jadi merasa asing di sampingnya. Padahal sebelum perjamuan tanpa jamu hari ini dimulai. Mereka telah saling mengenal hampir setahun. Berkat seorang sahabat. Tapi kali ini bukan seperti kala itu. Sekali lagi aku tidak memperhatikannya mendalam tapi aku tahu itu.
12.05 WIB
Jari-jarinya yang tidak lentik mulai bergerilya di atas tuts-tuts laptop sambil sesekali pandangannya mengarah ke depan layar. Dia memilih untuk menyalakan laptopnya kali ini. Mungkin lebih seru daripada hanya berdiam diri berdua. Aku mulai berspekulasi dengan imajinasi kelelakianku. Mungkin saja Dia sedang menyaksikan film kartun kuda jantan yang menaiki betinanya.
BUKAN. Just playing a GAME!
12.30 WIB
“Apakabar?” Majikanku menyudahi ‘puasanya’ setelah satu jam berlalu.
“Baik. Kamu ?”
“Lumayan.”
“Kok lumayan ?”
“Yaa..begitulah. Lagi campur aduk pikirannya.”
12.45 WIB
Segelas besar sirup merah di hadapannya masih tetap sama. Tak berubah. Hanya kini gelasnya mulai berair. Bercucuran embun. Kedinginan. Majikanku sekisah dengan gelas itu pikirku. Ditambah kini Dia menyalakan A-mildnya. Rumah Majikanku lebih mirip arena hotspot sepertinya. Tempat yang cocok untuk di datangi, membuka laptop, tersaji makanan kecil serta minuman dingin, bicara pada laptop tapi orang lain yang menjawab, dan ngudud¹.
“Kamu pulang ke sana lagi kapan?” Tanyanya pada laptop.
“Masih belom tahu.” Majikanku yang mewakili jawabannya. TOLOL! Pikirku.
“Emang masuk kapan ?”
“Nggak tau juga. Biasanya libur semester ganjil sebulan.” Aku tahu Majikanku tidak tolol tapi baik. Majikanku sengaja menjawab singkat berharap ada pertanyaan lanjutan.
…….
Ternyata senyap; seperti dugaanku.
13.10 WIB
Sudah lebih dari satu jam aku menyaksikan mereka berdua. Baru kemarin siang Ia cerita kepadaku. Bagaimana Ia merindukan Dia. Namun kenyataannya hari ini Dia malah tak banyak bicara. Cuek bebek kalau kata bebek di dinding, temanku.
Sebenarnya ini bukan hal aneh tapi bukan juga biasanya. Masih dalam minggu yang sama hubungan mereka masih baik-baik saja. Mereka masih saling bertukar kabar. Termasuk diantaranya jokes mesum yang membikin Majikanku tertawa terpingkal.
Masih kata Majikanku, sepanjang perjalanannya pulang kemarin dirinya telah menyusun berbagai rencana dengan Dia. Pergi ke toko buku, mampir ke rumah Dia, ke pameran computer terbesar bulan ini, ke bioskop, beli es krim dan kemanapun lagi nantinya. Jelasnya ini semua demi mempererat hubungan mereka yang terpaut jarak selama ini.
13.20 WIB
“Aku pulang dulu yaa..”
“Hati-hati.” Majikanku menjawab dengan tersenyum.
Ternyata cukup dua sesi pertanyaan selama dua jam. Mungkin Dia sedang enggan bertemu padahal Majikanku sangat ingin memeluknya. Atau mungkin Dia mulai merasa bosan dan semakin ragu untuk meneruskan hubungannya dengan Majikanku.
Majikanku masuk ke kamarnya membanting pintu. Aku mengerti perasaannya. Aku pikir Dia keterlaluan. Ayam saja tetap berkokok meski tiap hari bertemu gerombolannya. Aku merelakan Majikanku memukul-mukulku, menendang kakiku dan tubuhku basah karena airmatanya. Aku ingin sekali menggantikan Dia memeluk dan menenangkannya. Tapi aku tak mau menyalahi kodrat Tuhan. Aku hanya bisa menjadi pendengar dan pelampias nafsu amarahnya.
Majikan kembali bercerita padaku, “Meja kau lihat sikapnya tadi? Rasa-rasanya aku menampar mukanya agar Dia mengerti kekesalanku. Aku lama tak bertemu dengan Dia. Aku ingin memeluknya dan berharap Dia merasakan hal yang sama. Tapi apa? Tak satupun kata keluar dari mulutnya!”
4 bulan kemudian-in his facebook
Adit Kurniawan in a relationship with Ammy Azzarah. Aku tak mengerti arti in a relationship yang jelas Majikanku berbisik padaku, “Semoga langgeng.”

¹ Ngudud: istilah dalam bahasa Jawa yang berarti sedang merokok/ngrokok

1 komentar

Kosong


Kosong
Oleh Dian Hendar Pratiwi

Matahari menggeliat
Belum sempurna
Masih mencoba menjelma menjadi Tuhan
Apakah matahari pencitraan dari Tuhan?
Kosong..

Aku tersontak. Terbangun masih separoh saja. Pandanganku gamang. Aku merintih dalam isak semalam. Ada cahaya yang belum tuntas kupertanyakan. Mengalir menganak sungai dalam buai mimpi. Aku menemukan sosoknya yang berbeda. Kaku. Tak seperti yang pernah ia tunjukkan padaku.
Aku mengamati langit-langit kamar. Ada untaian jaring laba-laba di sudutnya. Laba-labanya tak ada. Aku alihkan pandanganku. Mencari sosoknya yang mungkin mulai melebur. Mengais. Menjamah maya yang sebenarnya tak pernah ada.
Aku meraba ranjangku yang kosong. Tak kutemukan wujudnya yang dingin. Kau berpura-pura. Atau sebenarnya memang kau tak pernah ada?

0 komentar

Begitulah Kiranya Cinta

Begitulah Kiranya Cinta  

oleh Dian Hendar Pratiwi


Aku tak punya waktu banyak. Mungkin hanya sepatah kata atau dua patah. Pada intinya aku bahagia. Tersenyum. Tertawa.

Begitulah kuhadirkan cinta untuk kalian. Tanpa pikir panjang. Seperti mendung yang menurunkan hujan tanpa ijin.

Begitulah kuhadirkan cinta untuk kalian. Tanpa permisi. Seperti angin yang mengirimkan dedaunan kering ke pinggir danau.

Begitulah kuhadirkan cinta untuk kalian. Begitu dekat dan sangat rekat. Sepertinya kau tak kan pernah terpikir bagaimana meregangkannya.

Begitulah kuhadirkan cinta untuk kalian. Begitu menyejukkan.

Terimakasih telah kau hadirkan cinta untuk aku. Untuk hari kita. Tawa. Murung. Dan cerita cinta kita..

Semarang, 06-09-2011
-dpm-

0 komentar

Flash Fiction 400 kata-Putramu bukan Putraku

Putramu bukan Putraku 

oleh Dian Hendar Pratiwi


“Adi ?”
“Bukan. Saya Putra.”
Siang hari di terminal seorang wanita tengah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ingatannya tak salah. Dengan gaun putih panjangnya yang nampak berdebu dia masih mengamati detail sosok laki-laki di hadapannya. Rambutnya yang sebenarnya indah, tebal, hitam dan lurus sebahu mulai terlihat sedikit acak-acakan. Tertiup angin mungkin.
“Kamu Adi.”
“Maaf nona. Mungkin Anda salah orang.”
“Tidak.” Tegas wanita itu sambil menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Sekali lagi si wanita memperhatikan laki-laki yang ada di depannya. Seorang laki-laki yang kira-kira umurnya sepantaran dengan dirinya. Berbadan tinggi tegap berkulit sedikit coklat. Kala itu dia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan rapi ke dalam celana jeans hitam panjang. Juga menggunakan ikat pinggang hitam bergesper bentuk oval berwarna silver. Necis.
Agaknya rasa penasaran si wanita itu menjadi-jadi. Dirinya yakin Ia tak salah orang.
“Hey, apa yang Anda lakukan nona?” Tanya si laki-laki dengan nada tinggi. Ia berusaha menghindari ayunan tangan si wanita ketika akan memegang pergelangan tangannya. Namun terlambat si wanita lebih sigap dan Ia memegangnya dengan sangat kencang.
Si wanita mengacuhkan gertakkan itu. Dia tetap memperhatikan laki-laki di hadapannya. Dengan mengelilinginya kali ini. Kemudian dia berhenti tepat di belakang punggung si laki-laki dan mengamati sekitar bagian tengkuknya.
“Hey, apa-apaan kau! Minggir minggir!” Dengan gusar si laki-laki menghindar. Kali ini usahanya berhasil. Genggaman wanita tadi lepas.
“Itu! Kau mengenakan baju yang dulu kubelikan bukan?” Dahinya berkerut menggambarkan dirinya sedang berpikir demi mengingat sesuatu.
“Baju?”
“Yaa! Baju itu. Baju itu kubelikan sehari sebelum kau melamarku. Karena kau tak punya baju bagus ketika itu dan kau merasa malu bertemu orang tuaku.”
“Ya! Memang baju ini ku beli ketika akan lamaran. Itupun melamar istriku!”
“Akulah istrimu.” Dengan senyum terkembang si wanita mengulurkan tangannya untuk memeluk si laki-laki. Namun si laki-laki justru mundur menghindar.
“Ini anak kita?” Tanya si wanita lagi sambil mencoba merengkuh bocah laki-laki yang berdiri tepat di samping Ayahnya.
 “Bukan! Ini anak saya. Adi Baskara. Anak saya dengan istri saya. Bukan dengan Anda.
“Anak? Istri? Bukan dengan aku?” Si wanita berhenti melangkah maju. Tangannya yang sedari tadi menjulur ke depan kini di turunkannya perlahan. Perhatiannya kini berpaling ke seorang anak laki-laki bernama Adi.
“Kau Putra? Kau beristri? Kau beranak Adi dengan istrimu?” Sekali lagi si wanita meyakinkan dirinya.
“Maaf saya harus pergi. Istri saya sudah datang menjemput.” Ujar si laki-laki sambil menggandeng erat tangan Adi. Dia berlalu meninggalkan si wanita yang terduduk lemas di lantai dengan gaun pengantinnya yang terjuntai.

(PAS! 400 kata dengan judul)

0 komentar

Cerpen---Kopi Tumpah

Kopi Tumpah 

oleh Dian Hendar Pratiwi


Aku suka sore. Biasanya aku menghabiskan sore di halaman belakang rumahku. Aku suka memperhatikan sore bersama secangkir kopi. Hangat tidak terlalu panas. Tidak terlalu pahit tidak juga terlalu manis. Pas, sedap dan mantab. Menyenangkan dan menenangkan.
Tapi sore ini agaknya tak seperti sore biasanya. Padahal aku masih seperti biasanya, duduk di bangku kecil di sudut halaman belakang rumahku. Masih pula dengan secangkir kopi yang pas, sedap dan mantab. Sepertinya entah ada hal lain yang aku rasakan. Aku rasa soreku segera berakhir. Seperti secangkir kopi ini yang akan segera habis.
Bagiku sesuatu yang aku pilih adalah pilihan yang tepat. Sesuatu yang aku lakukan adalah perilaku yang benar. Aku yakin bagi mereka apa yang aku pilih adalah pilihan yang tidak tepat. Sesuatu yang aku lakukan adalah perilaku yang tidak benar. Karena menurutku pilihan dan perilaku hanya milik pribadi. Itu sebabnya  mereka menganggapku gila.
Apa yang aku rasakan tak orang lain rasakan. Apa yang aku pikirkan tak dipikirkan orang lain. Sekali lagi karena rasa dan pikiran hanya milik pribadi. Seperti sore ini, hanya milik pribadi. Begitu pula secangkir kopi yang kupegang juga milik pribadi. Milikku.
Kau tahu aku suka kopi. Sejak usiaku belasan tahun aku suka kopi. Kopi paling enak mungkin kopi darimu. Aaahhh..aku hanya berandai-andai. Aku belum pernah merasakan kopi milikmu. Kalau kopiku tumpah, apa pedulimu. Mungkin asisten pribadiku yang akan mengambil lap dan membersihkannya. Bukan kamu.
“Jangan!” seruku kemudian. Karena aku akan menumpahkannya. Sekali lagi ini kopi pribadiku.
“Nanti banyak semut datang mbak.” Ujar asistenku.
“Tinggal kau siapkan makanan untuk mereka.” Jawabku.
 “Mbak ini sudah gila!” Jawabnya dengan ketus sambil berlalu meninggalkanku. Dia bukan siapa-siapaku. Bahkan aku ini anak majikannya namun dia juga menganggapku gila. Keterlaluan!
Asistenku menganggapku gila. Aku pikir asistenku yang gila. Karena dia telah menganggapku gila. Namun nyatanya tidak hanya asistenku yang gila, tetanggaku, orang-orang lain di sana juga gila aku anggap. Mereka menganggapku gila. Padahal mereka yang gila. Aku akan menumpahkan kopiku di pikiran gilanya. Tepat di otaknya. Agar ia tak lagi menganggapku gila.
Aku perhatikan semut-semut mulai berdatangan menghampiri tumpahan kopiku. Mereka mulai menjamah setiap bulu kakiku. Pelan dan mesra. Ada yang datang sendirian dan “Hey! Sini sayang..kamu kehilangan teman-temanmu yaa?” Sahutku sambil berusaha mengarahkan langkahnya ke tumpahan kopiku. Ada pula yang datang bergerombolan dan saling berciuman saat bertemu. Aku perhatikan mereka, mereka begitu ramah satu sama lain. Andaikan semua manusia yang ada di sekelilingku juga demikian adanya pasti hidup ini lebih menawan.
Kopi aku tumpahkan lagi. Semut berdatangan lebih banyak lagi. Apa pedulimu? Tidak ada kan? Toh kopi ini kopi pribadiku. Berapa kali aku bilang ini kopi pribadiku. Ini adalah kopi pribadiku. Ini kopi milik pribadiku dan kopi ini milikku! Aku yakin sekarang kau tengah meminum kopi juga di tengah perjamuan makan kelas Internasional.
Kali ini memang nyatanya berbeda dengan kali itu. Aku tidak menikmati secangkir kopiku bersama sore di halaman belakang rumah. Bahkan aku sendiri tak tahu apa ini pagi, siang, sore atau malam. Aku hanya tahu ruangan ini gelap dan temboknya dingin. Memang ada lampu diatas sana yang terkadang dinyalakan asistenku. Tapi di sini aku lebih suka gelap. Karena ketika gelap aku dapat terus mencurahkan perasaanku. Mengadu pada dinding-dinding yang dingin. Bertanya pada bintang dan menyeka air mata tertahanku dengan kain sarung tipis. Yaa..aku tak mau yang lain terbangun karena raung tangisku.
Di kamar sebelahku tinggal seorang wanita. Wanita muda. Aku tafsir usianya hampir 30an tahun. Dia suka menggendong guling kecil yang dianggap bayinya. Dia suka menyanyikan lagu nina bobo. Sepanjang waktu dia bernyanyi dengan lembut. Ada rasa iri karena aku tak pernah dinyanyikan lagu itu. Dia merawat guling kecilnya dengan penuh cinta. Aku pernah berbincang dengannya. Ketika itu dia sedang menggendong bayi gulingnya di lorong bangsal kami. Namun aku tetap di dalam kamarku. Bagaimanapun juga dia gila. Aku sebagai orang yang normal takut juga jika sewaktu-waktu dia ngamuk.
Dia seorang wanita yang ditinggal pergi kekasihnya tepat di hari pernikahan mereka. Padahal dia tengah mengandung buah cintanya. Katanya kekasihnya itu sekarang sudah menikahi wanita lain. Itu sebabnya dia membenci semua lelaki yang ada di dunia. Termasuk dokter tampan yang merawat kami berdua di sini.
Suatu sore aku mengajaknya meminum kopi. Namun dia menolak mentah-mentah. Bahkan dia memukul tanganku yang menyodorkan kopi kepadanya sehingga kopiku tumpah.
“Aku tidak suka kopi! Suamiku suka kopi!” Begitu katanya berulang sambil menjerit-jerit. Hingga para suster kemudian datang menenangkannya. Lalu aku? Lagi-lagi tak ada yang menghiraukanku. Aku dari balik pagar besi hanya menatap kosong kopiku yang tumpah. Aku perhatikan semut-semut mulai datang satu per satu. Lama-lama berkoloni. Menjijikan! Tak lama asistenku yang gila itu datang sambil tergopoh-gopoh dan membersihkan kopiku yang tumpah. Dia juga membuang cangkirku yang pecah berantakan. Dia tak tahu dari mana kudapatkan cangkir beraksen China itu. Dari Ayahku. Aku sangat mencintainya. Dia juga sangat mencintaiku. Dia tahu aku suka kopi. Cangkir itu dari China untuk aku minum kopi. Satu-satunya benda yang selamat ditemukan ketika kecelakaan pesawat merenggut tawanya. Dia menyimpannya rapat-rapat di dalam tumpukan bajunya. Asistenku berlalu tanpa tahu sejarah itu. Aku hanya diam termangu tanpa melirik kepergiannya. Aku masih memperhatikan tempat sampah di hadapanku, tempat cangkir kopiku dibuang.
Aku tak suka dengan asistenku. Padahal kata Ibuku dia asisten nomoer satu di Rumah Sakit Jiwa ini. Dia dibayar tinggi oleh keluargaku untuk khusus merawat dan menjagaku. Tapi aku suruh untuk membikin kopi saja tak bisa. Berkali-kali kopi sengaja ku tumpahkan karena rasanya tak enak. Padahal katanya itu kopi luwak yang berharga jutaan rupiah. Pernah suatu hari ketika adikku yang berumur 17 tahun mengunjungiku aku menyeruput es kopi yang dibawanya di botol. Rasanya sedap tiada tara. Ketika kutanya dimana Ia membeli Ia jawab Ibu kami yang membikin sebelum ia menengokku tadi.
Aku heran. Siapa sebenarnya yang gila? Asistenku? Adikku? Ibuku? Atau aku? Kalau wanita sebelah kamarku memang dia gila. Semua orang juga tahu itu. aku bandingkan, aku tak pernah menggendong bayi guling seperti dia. Aku tak pernah menangis meraung-raung seperti dia. Aku tak pernah menjerit-jerit seperti dia. Pikiranku waras. aku penya perasaan.a ku sedih kala semua menganggapkau gila. Aku menangis dalam gelap kamarku. Apa hanya karena aku suka menumpahkan kopi aku dianggap gila? Aku hanya ingin kopi buatan Ibuku. Ibu tiriku.

0 komentar

CERPEN---Kata Orang Tentang Aku

Kata Orang Tentang Aku

oleh Dian Hendar Pratiwi

Aku tersentak dari mimpiku. Dari khayal lugu yang mengajakku menari meninggalkan pertiwi. Membumbung dan meninggalkan segala benang kusut yang lupa aku rajut malam tadi. Sering kali aku mengudara memudarkan wana pelangi. Namun untuk mengecatnya menjadi me-ji-ku-hi-bi-ni-u lagi aku tak mampu. Berat. Susah. Dan enggan. Padahal aku tahu Tuhan pasti akan murka karena keindahan ciptanya rusak. Meski emak sudah memperingatkanku tentang ini. Namun seperti biasa, aku mencela peringatannya.
Kini petang meluntur. Meninggalkan sisa-sisa gelak tawa yang terbuai indah nafsu semalam. Kata emak, pagi selalu semangat dengan udara cemara musim semi. Burung-burung gereja pun bergerombol menciptakan gelak tawa merdu. Ternyata pagi tak selembut cerita Emak. Langit enggan membiru. Sang naga yang biasanya menyemburkan badai api malah nampak merunduk pilu. Mungkin kehabisan cadangan energinya.
Mendung. Aku semakin terbuai. Enggan beranjak dari peraduan. Masih ku meniti ranjang bercak darah semalam. Berkecimpung dalam bayang gagahnya. Menghitung helai demi helai rambutku yang dijambaknya dengan birahi. Menghirup dalam-dalam sisa wewangian yang masih menempel di sekujur tubuhku. Kugantikan perih yang kurasa dengan cinta. Pagi ini berbeda. Aku masih terhantui sosoknya. Aku masih mengingat detail kala dirinya menjamah setiap inci bagian tubuhku.
Kejadian semalam membuatku bergidik ngeri. Ini bukan pekerjaan pertamaku. Selama aku bekerja tak semua lelaki aku ijinkan untuk menjamahku. Walau aku membutuhkan harta mereka aku tetap memilih lelaki mana yang berhak mencumbuku. Dia harus berbadan bersih dan wangi, tidak berambut gondrong, berkuku bersih dan tidak panjang karena itu bisa menyakitiku nanti, serta bersedia memberiku uang sesuai yang kuminta.
Aku paling suka melayani lelaki tambun. Karena dari postur tubuhnya aku bisa mengira dompetnya pun setambun badannya. Meski ketika melayaninya aku akan kewalahan dan sesak napas dibuatnya. Tapi itu resiko. Demi melunasi mimpi orang tuaku.
Tamuku kali ini adalah seorang yang ku kenal. Wajahnya oriental. Postur tubuhnya masih tinggi seperti dulu pertama kali aku mengenalnya. Kulitnya putih tanpa sisik. Wangi dan ketika menjamah tubuhku kutahu kuku-kuku jarinya terpotong bersih.
“Dena?” tanyanya setengah tak percaya bahwa akulah wanita yang disewanya untuk malam ini. Kudengar dari temanku, dia biasa kemari bersama rekan-rekan bisnisnya hampir tiap akhir pekan. Entah sekedar untuk mabuk-mabukkan, berjudi atau nge-seks. Seperti malam ini, jatahku untuk melayaninya.
“Johan?” aku tercengang dengan tamuku kali ini. Johan Anggara, pacarku ketika di kampung dulu. Bukan! Bukan pacar. Kami tak pernah mengikrarkan tanggal jadian kami. Tidak ada ikatan bermakna. Hanya saja kami dekat. Cukup dekat. Hingga menjadi sangat dekat sebelum akhirnya Johan menggagahiku.
Aku sebenarnya tak terlalu kaget dengan keberadaannya di kantorku. Sejak SMA dia memang sudah tak perjaka. Dia seorang pecandu. Hyperseks. Lagipula wanita mana yang menolak ditidurinya, dia tampan, putih, dan anak pejabat kampung. Ayahnya dulu seorang kepala desa di kampungku. Sawahnya terhampar luas dan orang tuaku bekerja di salah satu lahannya.
“Aku akan mengawinimu.” itulah selalu yang diucapkannya sebelum bercinta dengan banyak gadis di kampungku. Bahkan janda kampung di embat juga. Padaku pun dia pernah berkata begitu.
 “Kau bekerja di sini?” tanyanya sambil melirikku dari ujung rambutku hingga ujung sepatu high heels merah meronaku.
Aku mengangguk saja.
“Untuk apa?” tanyanya sambil merapat padaku.
“Untuk uang.”
“Kenapa harus seperti ini?
“Karena aku anak yang berbakti.”
“Maksudmu?”
Aku tersenyum dan  mendorongnya ke ranjang beralas warna merah muda. Aku mulai menciuminya. Bukan nafsu tapi cinta dan benci. Cinta yang tumbuh jauh sebelum aku mau bergumul dengannya dulu. Sebelum aku mengerti bahwa keluarga, cinta, harta dan harga diri itu harus ada yang dikorbankan salah satunya.
Itu semua yang perlahan membuatku benci terhadapnya. Benci karena aku tak bisa mencintainya dengan utuh. Benci karena perbedaan kasta di dalam keluarga kami. Dan benci karena orang tuaku harus menggarap sawah milik orang tuanya.
Kisah tempo lalu terus merajai otakku. Bagaimanapun juga aku pernah bersetubuh dengannya penuh cinta. Dan aku menikmatinya. Dengan kelembutannya dia menciumiku perlahan. Sedetik kemudian aku terangsang. Seperti tersengat listrik yang melambat namun pasti alirannya. Dia bahkan belum menyentuhku. Begitu kuat rindu yang terbayang akan kenangan.
Kini ada rasa rindu yang membuncah. Rindu yang tak lama lagi akan segera terbayar. Kenangan yang satu per satu muncul kembali dengan gamblang tanpa perintah. Berlomba saling mendahului mana yang paling cepat sampai di benak. Apakah kenangan kala pertama kali dia mendekatiku di lapangan dekat balai desa? Atau kenangan ketika aku bertandak ke rumahnya yang sepi dan dia mulai berani memelukku dan mencium keningku?
“Aaahh..aku ingin segera mengoralnya.” ungkapku dalam hati. Sungguh hanya dalam hati saja dan sangat perlahan.
Aku melepas dosa. Aku menanggalkan Tuhan. Aku melepas rindu yang menggebu dengan cinta. Benar-benar dengan cinta. Aku membebaskankan nafsuku tanpa urat. Kali ini aku akan orgasme dengan puas. Tuhan pasti akan mengerti. Jika tiap malam aku berdosa kali ini pasti tidak. Karena aku bergumul dengan cinta. bukan hanya berharap materi.
Kami semakin larut dengan erangan kami. Kadang aku mencakar punggungnya. Dia merintih. Entah nikmat atau perih karena cakaranku meninggalkan luka yang bertetes peluh nafsunya. Ranjanag berderit menambah semarak ruang temaram kelambu.
“Dengar suara adzan nduk. Sholat-lah dulu.” samar aku mendengar perintah emak selalu setiap adzan subuh berkumandang. Tapi tak kuhiraukan bayangan emak. Aku masih harus menyelesaikan beberapa ronde lagi. Bayangan emak kembali muncul. Datang dan mengetuk pintu, mengintipku dari balik daun pintu reyot.
“Sampaikan salamku pada Tuhanmu mak, Assalamualaikum!” teriakku ditengah eranganku.

***

Pagi yang tadi cemberut hingga siang yang tetap meredup kini telah berganti sore yang manja bergelayut enggan turun. Nampak gelagat Sang Dalang mulai bimbang. Aku duduk di beranda rumah susunku dengan secangkir teh. Mengitari pinggiran bibir cangkir dengan telunjuk lentikku bercat merah.
Kata orang aku pelacur. Kata orang aku wanita malam yang nakal. Kata orang pekerjaanku haram. Kata orang aku pendosa berat. Kata orang akulah yang pertama kali akan masuk neraka Jahanam. Kata orang aku perusak rumah tangga orang lain.
Aku memang pelacur. Aku memang wanita malam yang nakal. Pekerjaanku memang haram tapi bukankah sekarang pekerjaan haram sedang menjadi tren? Seperti mencuri uang yang bukan haknya. Aku memang berdosa tapi darimana kalian tahu akulah orang petama yang akan masuk neraka Jahanam. Apa kalian tahu rumus perhitungan dosa dan pahala? Apalagi perusak rumah tangga orang, suami-suami kalianlah yang menghampiriku dan mengumbar uangnya untukku. Banyak diantara lelaki yang datang padaku mengaku tak puas bergumul dengan para istri yang sehari-hari hanya bisa arisan berlian tanpa tahu bagaimana cara memuaskan suaminya.
Sore meredup. Adzan berderu menyuarakan perintah Tuhan. Aku segera membuang ampas teh yang tersisa di cangkir. Mencuci gelasnya dan meletekannnya kembali di atas rak kayu. Aku bergegas mengambil tas jinjingku. Hari ini aku akan meninggalkan Ibukota. Pulang ke kampung halaman melepas rindu. Serta melepas keberangkatan emak dan abah yang akan naik haji esok pagi.

0 komentar

Cerpen---Secangkir Teh dari Bunda

Secangkir Teh dari Bunda
oleh Dian Hendar Pratiwi

Aku berlari mengubur semua yang telah berlalu. Aku tenggelamkan diriku dari ingatanku. Aku membencimu itu urusanku. Aku tak suka dengan keputusan dan rasa sayangmu padaku itu juga keputusanku. Maafkan aku sebelumnya. Bukan karena aku seorang gadis kecil yang terlalu lemah maka aku melarikan diri. Aku hanya ingin berdiam diri. Benar-benar seorang diri.
Aku tak mau orang lain tahu apa yang baru saja terjadi di dapur kami. Ada seorang mayat wanita dewasa di sana tengah meregang nyawa sendirian. Aku mengecap diriku masih terlalu kecil untuk bisa melakukan yang orang dewasa lakukan. Aku bingung bagaimana cara menolongnya. Diapun hanya diam saja terpejam kaku. Tidak menyuruhku untuk meminta bantuan. Aku panik tertahan, takut dan terisak di sudut dapur sebelum akhirnya aku berlari meninggalkannya.
Bagaimanapun juga aku tak suka kehadiranmu di sini.
Ayah melihat kami sedang menghabiskan pagi bersama di teras belakang. Matahari menjadi begitu hangat ketika kau menggenggam tanganku. Namun entah mengapa kehangatanmu justru memanas. Hingga aku menampik tanganmu. Aku tahu kau nampak kecewa. Namun aku acuh. Yang penting aku masih tetap menemanimu menikmati pagi. Seperti pesan Ayah.
Kau memberiku secangkir teh panas. Sepanas hatimu. Namun menurutmu sepanas prasangkaku padamu. Yaahh..itu hakmu juga. Aku tak melarang.
Aku menerima secangkir teh panas darimu tadi dan aku mulai menyeruputnya perlahan.
“Aww..panas!” Seruku.
“Pelan-pelan nak. Ditiup dulu.”
Aku mematuhinya. Kutiup. Kuminum perlahan dan hati-hati. Sedap. Seperti ada racun di dalamnya. Aku tetap waspada Meskipun aku tahu dia memperhatikanku dengan penuh cinta. Tapi rasa waspadaku jauh lebih tinggi dari rasa tahuku tadi.
Aku seorang gadis yang pendiam. Usiaku 8 tahun. Aku tak suku diperhatikan orang lain namun aku suka mengawasi gerak-gerik orang lain. Salah satunya mengawasi dia. Dia sering menggunakan telepon rumah berlama-lamu untuk ngobrol dengan teman-temannya. Menceritakan masalah suami masing-masing, membicarakan anak tetangga kami yang cacat mental, membicarakan berita perceraian pengacara ternama di televisi, serta membicarakan kehebatan seks suami masing-masing.
Tak pernah sedikitpun dia menyinggungku. Tapi itu lebh baik. Aku memang pernah memperingatkannya untuk tidak usah membicarakanku. Karena memang sebenarnya aku tak suka dia membicarakanku pada teman-teman arisanya. Aku juga tak suka bila aku mendengar dia membicarakan mantan istri Ayahku yang telah terlelap panjang. Bagaimanapun juga dia bukan siapa-siapaku meski Ayah memaksaku memanggilnya Bunda.
“Apa itu ‘Bunda’? Aku hanya mengenal ‘Ibu’.” Gumamku dalam hati saja.
Aku berlari dan terus berlari. Keluar dari dapur melewati ruang tengah tempat biasa kami bertiga berkumpul dan melewati ruang tamu. Terus saja aku berlari meninggalkan rumah. Aku ingin mencari bantuan. Tujuanku adalah kantor Ayah. Walau aku tak tahu dimana kantor Ayah. Aku hanya ketakutan.
Secangkir teh pemberiannya di pagi tadi telah kuhabiskan. Nyatanya aku tak terkapar keracunan. Kutunggu 5 menit, 15 menit hingga setengah jam aku masih baik-baik saja. Bunda tak sejahat yang aku pikir.
Aku suka dengan Cinderella. Aku menggambarkan diriku adalah Cinderella. Gadis yang cantik dan baik hati meski harus tinggal dengan Ibu dan saudara tirinya yang jahat. Kata Ibu, aku harus menjadi Cinderellanya.
“Kau gadis Ibu yang cantik.” Kata Ibuku sambil terbaring lemah di tempat tidurnya.
“Ibu juga cantik.” Sahutku.
“Kalau Ibu pergi kamu nggak boleh nakal yaa..harus nurut sama Ayah.”
“Kemana Ibu pergi? Aku ikut bu.” Rengekku sambil menarik lengan bajunya.
“Iya. Tapi bukan sekarang. Sekarang Ibu dulu yaa..Ibu lihat apakah di sana aman untukmu.” Jawab Ibu dengan wajahnya yang nampak pucat saja meski dia berusaha tersenyum sambil membelai rambutku.
Saat itu aku berusia 6 tahun. Aku tak mengerti apa itu kanker payudara. Aku pernah mendengar obrolan dokter Adi dengan Ayah. Katanya waktu Ibu tak lama. Penyakitnya sudah memasuki stadium akhir karena selama ini dia merahasiakan penyakitnya dari Ayah apalagi dariku. Sungguh aku tak mengerti.
Pagi sudah mulai pergi. Mataharipun mulai merangkak naik menyapa. Sedikit siang tapi belum terlalu siang. Aku ingin segelas es teh dingin kali ini.
“Aku ingin segelas es teh.” Ungkapku pada Bunda di dapur. Kala itu dia tengah membereskan piring bekas kami sarapan bersama sebelum Ayah pergi ke kantor.
“Tapi tadi pagi kamu sudah minum teh hangat bukan?”
“Sekarang tak lagi pagi.”
“Lebih segar kalau kau minum air putih dingin. Bagaimana?”
“Tidak! Aku ingin segelas besar teh dingin.” Aku mulai meninggikan suara.
“Baiklah. Kau tunggu di sini dan aku akan segera menyiapkannya untukmu.” Jawabnya kemudian. Aku diangkatnya dan didudukkan di salah satu kursi meja makan yang ada di hadapan kami. Aku lihat dia mulai mengambil sebuah gelas besar dan mulai membuatkan teh dingin untukku.
Aku memperhatikannya. Dia cantik namun tak secantik Ibuku. Aku sering melihatnya diam-diam seperti ini. Gayanya yang seolah-oleh menggantikan peran Ibuku justru membuatku muak. Pernah suatu ketika aku begitu marah padanya ketika dia menyuapiku saat aku demam. Padahal aku meminta Ayahku yang ada di sampingku. Katanya Ayah masih sibuk dengan urusannya. Kemudian aku menampik sesendok bubur ayam dari sendoknya hingga tumpah mengenai roknya. Aku marah dan menangis. Aku berteriak berkata bahwa aku membencinya. Betul-betul membencinya.
“Aku nggak suka kamu di sini!” Tegasku sesaat setelah dia membersihkan roknya yang kotor dengan tisu.
“Kenapa sayang? aku hanya ingin melihat kau sembuh dan bermain lagi dengan teman-temanmu.” Kata Bunda dengan mengusap kepalaku.
Lagi-lagi aku menghindar.
“Jangan memanggilku sayang! Aku tidak menyayangimu!”
“Tapi aku menyayangimu.”
“Tidak! Kau tak akan pernah bisa menggantikan posisi Ibu!”
“Ibumu tetap Ibumu. Aku mengerti perasaanmu. Aku tidak akan menggantikan posisi Ibumu di hatimu bahkan tidak akan pernah bisa. Aku hanya ingin berbuat yang aku bisa untukmu.”
Kulihat dia mulai meneteskan airmatanya sebelum akhirnya dia pergi dengan meninggalkan semangkuk bubur di meja samping tempat tidurku. Tepat di depan fotoku bersama Ibu.
Segelas teh dingin telah selesai Ia buat. Kemudian dia menyodorkannya padaku. Aku tetap waspada. Tapi selama dia membuatnya tadi sepertinya dia tak memasukkan racun kok. Dia pergi menginggalkanku di dapur. Entah dia mau kemana. Aku tak peduli.
Aku meletakkan gelas di pinggir meja. Aku mengambil brownis coklat kesukaanku. Ini juga bikinannya. Letaknya di ujung meja cukup jauh dari posisi dudukku. Karena meja makan kami memang cukup besar untuk seumuranku. Aku berusaha mengapainya. Namun..
“Pyaaaarrr…”
Segelas teh dinginku jatuh dan pecah. Bunda tergopoh-gopoh berlari menuju dapur dan dia terpeleset tumpahan tehku. Dia jatuh tepat di bawah kaki ku. Serpihan gelas menancap di tangan dan kakinya. Kulihat tangan dan kakinya mulai terluka. Namun kepalanya memegang kepalanya yang terbentur pinggiran meja. Aku mendengar benturan kepalanya tadi. Cukup keras mungkin. Dan dia tidur terpejam.
Aku berlari. Aku takut. Bukan salahku. Tapi di sana hanya ada aku. Ayahpun tahu aku membencinya. Aku juga masih kecil. Aku tak akan bisa mejelaskan peristiwanya di depan Ayah. Apalagi di depan orang-orang berseragam nanti.
Bunda telah bertemu Ibu. Esok aku dan Ayah akan menyusul.
“Maafkan aku yang belum bisa mencintaimu seperti kau mencintaiku. Kalau saja Tuhan memberi waktu walau hanya satu jam saja aku akan menyatakan padamu bahwa aku juga menyayangimu. Terimakasih untuk secangkir teh yang selalu kau bikin tanpa racun padaku.” Batinku sambil mengusap di nisan Bunda di samping nisan Ibu.
Bagaimanapun juga aku pernah membencimu, Bunda.