Opini Untuk Mas Presiden

Pergeseran Paradigma Politik Kampus
Oleh: Dian Hendar Pratiwi

Politik kampus nampaknya mengalami pergeseran paradigma. Dunia kampus yang sejatinya menjadi central pembelajaran intelektualisme nyatanya kini omong kosong belaka. Demi meraup kekuasaan tertinggi kemahasiswaan, segala kecurangan dan kebohongan dihalalkan. Hal ini diimbangi dengan berbagai macam janji-janji yang terdengar justru menjijikan. Mereka tidak menyadari, apa yang mereka umbar adalah serangkaian masalah-masalah baru yang nantinya membayangi.
Cukup bermodalkan lihai memanajemen isu, para mahasiswa ini beramai-ramai terjun ke kancah politik demi kekuasaan dan kemenangan golongan. Timbul istilah black campaign atau kampanye hitam. Kampanye politik yang sangat rapi dan lihai dilakukan oleh para tim sukses calon. Saling menjatuhkan lawan politik dengan menjelek-jelekkan bahkan memfitnah demi membunuh citra lawan politik. Inilah tren politik yang terus berkembang dengan pesat.
Sebenarnya, berpolitik adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, dalam politik selalu ada ”aturan main” dan etika yang harus diindahkan tanpa bertolak belakang dengan tujuan yang diharapkan. Dalam frame Mahatma Ghandi, seorang tokoh revolusioner India, setiap tujuan yang ingin dicapai harus selaras dan seimbang dengan metode dan tata cara yang dilakukan. Mustahil hasil dari tujuan dinilai baik jika metode yang digunakan adalah dengan jalan yang buruk. Begitulah kiranya yang dimaksud dengan politik yang ”bersih”. Sebagaimana pernah diungkapkan Plato bahwa politik adalah seni mempengaruhi orang lain dengan kecerdikan dan kecerdasan, Bukan dengan keculasan dan kebohongan serta cara-cara keji yang menghalalkan segala macam aturan demi meraih keinginan.

Namun, antara idealitas dengan realitas memang cenderung berdiri tak sejajar. Kerja-kerja politik yang idealnya selalu bersih dari kelicikan dan keculasan ternyata menuai banyak kendala. Sehingga tak heran jika kemudian ada semacam ”justifikasi publik” bahwa politik itu memang kotor, tidak pernah bersih. Kalau jujur dan bersih itu bukan politik. Begitu mungkin kilah mereka. Demikian pula yang tengah menjangkiti politik kampus. Hal ini terjadi, karena selama ini kerangka pikir mereka dalam ranah politik sudah terpola oleh asumsi umum bahwa politik sama dengan kebohongan dan kelicikan. Sehingga, apapun cara dan metode yang dilakukan dianggap sah-sah belaka selama dipandang akan memuluskan jalan menuju ”tujuan”. Inilah yang dimaksud dengan pergeseran paradigma itu.
Kondisi ini diperparah dengan kinerja para panitia penyelenggara. Tidak adanya sikap control, menyia-nyiakan pikiran, waktu, tenaga dan biaya mereka sendiri untuk merubah-rubah jadwal pelaksanaan serta tidak adanya komunikasi terhadap hima-unit justru semakin menimbulkan pertanyaan, seserius apakah pagelaran ini digelar? Para komisi dan panitia bungkam. Mungkin mereka juga tak tahu apa yang harus diinformasikan pada hima-unit. Karena menurut mereka semua bersifat rahasia, Lalu para pengawas pemira seolah bingung dengan tugasnya. Mereka justru sibuk mengawasi gerak-gerik media yang nyatanya memang lebih tanggap membaca situasi yang terjadi. Inilah salah satu yang mendasari mahasiswa menjadi apatis terhadap pemira dan selalu mencaci presiden terpilih.
Mengutip judul cover buletin @gromed edisi Desember 2011, Opera Van Faperta, akankah pesta demokrasi kampus benar-benar menjadi dagelan baru di awal tahun ini? Nampaknya para wayang, sutradara, penulis skenario dan tetek bengeknya tengah “rapat intern” yang ekstra rahasia. Beginilah kondisi politik kampus Faperta. Begitu intern, seperti istilah yang sering mereka gunakan. Mungkin, PEMIRA tahun ini akan ditutup dengan terpilihnya presiden yang intern pula alias memimpin golongannya saja atau mungkin akan ditutup tanpa ada presiden terpilih. Kita nantikan saja.


di terbitkan di Faperta News (FN) - LPM Agrica
Selasa, 10 Januari 2012

0 komentar: