2 komentar

Resolusi Akhir Tahun

Dari Penulis Diary Hingga RedPel Buletin Kampus

“DREAM, believe, and make it happen..”

Tahun 2011 bisa dibilang adalah tahun dimana aku belajar banyak hal. Belajar menjadi gadis kecil papa yang tumbuh menjadi dewasa. Aku banyak bersyukur tahun ini. Beberapa resolusi tahun 2010 kemarin tercapai di tahun 2011 ini. Misalnya aku diangkat jadi redaktur pelaksana bulletin fakultas. Tak berselang lama, aku juga ditunjuk sebagai redaktur pelaksana bulletin baru di tingkat program studi. Itulah yang dimaksud dengan kesempatan aku pikir. masih terngiang, dua kesempatan itu melayang ke aku tanpa bayangan sebelumnya. Aku hanya ingin belajar menulis. Intinya itu.

0 komentar

Sekilas Tentang Flash Fiction

FF itu apasih? *buat yang belum tau :)
Oleh  : Nessa Kartika

Nama lainnya: flash fiction, mencakup sudden fiction, microfiction, micro-story, postcard fiction, dan short short story. Jumlah katalah yang membedakan istilah-istilah itu.
Sejarah flash fiction berakar pada Aesop's Fables, dan praktisinya antara lain Anton Chekov, Franz Kafka, Kurt Vonnegut,Jr.
Ernest Hemingway bahkan memelopori cerpen 6 kata saja.
Flash fiction adalah cerpen sangat singkat yang menghunjam telak ke dalam pikiran pembaca dan langsung menghibur. Jumlah kata masih diperdebatkan. Sebagian berpendapat 1.000 kata masih disebut FF. Yang lain menuntut di bawah 500, bahkan ada yang hanya 55. Tapi yang paling populer adalah 100 kata, dengan atau tanpa mencakup judul dan nama penulis.

0 komentar

Flas Fiction Buat Mama :)

KAKTUS
 
22 Desember, bertepatan dengan pengukuhan gelar Doktorku, kau berulang tahun. Sosok yang tak banyak kata tapi memberi contoh nyata. Guru terbaik sepanjang masa. Masih membayang jelas, dalam ingatan, saat sakitku menggila, berlarian engkau menggendongku ke rumah sakit terdekat untuk memastikan anakmu ini mendapatkan perawatan yang tepat. Di lain kesempatan, kala kita berjalan beriringan, kau korbankan dirimu untuk melindungiku dari derasnya hujan. Ku ingat kau pernah berpesan, hidup layaknya kaktus. Bertahan sendiri di padang pasir tanpa mengeluh meski habitatnya gersang. Indah bunganya dinikmati semua orang namun dengan durinya tak sembarang orang menyentuhnya. “Bertahan pada situasi sulit akan menguatkanmu,” ungkapan ketegarannya.




"Selamat Hari Ibu, Maa..
I Love U.."

0 komentar

Love You, Mom

Persembahan Cinta Untuk Para Ibu di Dunia

Untuk mama tersayang, yang selalu percaya bahwa bakat itu ada..
Selamat Hari Ibu (221211)

Malam larut semakin pekat. Bulan tidak purnama. Tidak juga lenyap. Separuh saja. Ada lenguhan panjang bidadari. Menghembus perlahan menjejal jendela kamarku. Aku masih mematung. Menyandar pada salah satu tembok. Mataku berkaca memandang jauh. Menyelami bait demi bait tulisan yang terhampar di depanku.

(Baca juga link ini yaa temen2. Ini tulisan yang aku maksud)

Itu bukan tulisan pertamaku. Kesekian. Bukan pula pertama kalinya aku ikut lomba menulis fiksi atau true story. Namun kali ini berbeda. Tulisan yang menggambarkan rasa banggaku pada Papa. My hero from my frame. Begitulah aku menyebut asal ide tulisan ini.
Kali ini aku tak yakin. Dicari 3 naskah terbaik dari 70 lebih naskah. Salah satu dewan jurinya Bamby Cahyadi. Penulis senior yang kukagumi. Dia memiliki jam terbang tinggi, tulisannya beberapa kali mangkir di media nasional sekelas Kompas, Jurnal, Media Indonesia dll. pernah membuat buku pula.

“Aku nggak jadi kirim,” ujarku di telepon.
“Kenapa?” tanyanya parau.
“Nggak pede. Kayaknya juga nggak layak baca.”
“Jangan berpikir begitu. Dengan kamu berani mengirim berarti kamu sudah menang mengalahkan rasa nggak PD mu.”
“Nggak taulah nanti. Mungkin mau dibenerin dulu.”
“Katanya mau jadi penulis?”
“Boleh?”
“Bolehlah. Papanya kan wartawan, penulis juga. Mama juga dulu sekolah komunikasi karena pengen jadi wartawan tapi nggak kesampaian.”
“Terus?”
“Bakat itu pasti ada. Factor keturunan juga sangat mungkin. Jadi selama tidak mengganggu kuliah, lakukan yang menurut kamu baik untuk nantinya.”


Ini foto mama sama tante aku pas di Tawangmangu. Dia yang pake baju warna oink pake tas coklat. Aku cari foto mama yang sendirian di laptop nggak ada ternyata. hehehheee..maap yaa ma..



ciiieee...si mama mendadak terkenal ni :)



Mama supporter terhebat dalam hidupku :)
Love u..

0 komentar

Pagi yang Melankolis

Selamat pagi!
fuuaaaahh..bangun tidur langsung online ni ceritanya. masih kaos tidur yang bolong di ketek sama celana pendek langsung ane  buka facebook, nggak sengaja ada nama mantan muncul di home. Langsung deh di klik. Hhhhmmmm..masih sama pacarnya aja tu orang. Langgeng bener.
Dengan suasana hati yang mendadak jadi melow. Terciptalah tulisan berikut..
Ini bukan tulisan puji-pujian. Tapi sedang mengenang mantan dengan perasaan haru. Jadi tolong, please banget, bacanya sambil terharu yaa.... pliiiiisssssss....


Rindu itu..

Rindu itu..menggelikan
diawali dari ngecek timeline kamu
mencari tahu dengan siapa saja kamu komunikasi


Rindu itu..lucu
diawali dengan mengingat kenangan
yang pernah dilalui bersama


Rindu itu..menerjemahkan angin yang berhembus sebagai isyarat cinta
berharap kau merasakan hal yang sama


Rindu itu..mengenang tempat-tempat yang pernah kita datangi berdua
Rindu itu..memutar semua lagu yang ada hubungannya sama kamu


Rindu itu..KAMU SAJA.
CUKUP.

Dan inilah salah satu lagu yang jleeebb banget. Ten2five-You

0 komentar

For You..

Kesetiaan adalah bertahan dengan ikhlas. Seperti saat kita berteduh kala hujan turun dan menunggu hingga tetesnya mereda. Seperti pula saat kita bermain pasir di pantai dan menunggu ombak menggulung membasahi dua mata kaki kita. Lalu kita tertawa di bawah lengkung senja.
Kesetiaan itu seperti saat ini. Seperti saat aku masih menjaga kerinduanku dan kembali memutar lagu-lagu nostalgia kita berdua. Memendam hal terindah dan mengindahkan hal terpahit.








Setia adalah alasan sederhanaku untuk tetap di sini. Untuk mencintaimu.

0 komentar

Seandainya Tuhan Jatuh Cinta

Seandainya Tuhan Jatuh Cinta
oleh Dian Hendar Pratiwi

Mencintaimu adalah hal terindah..




24 jam.
Seharusnya aku pahami bahwa waktu hanyalah sekat.
Seperti kata yang disekat spasi. Seperti kalimat yang disekat titik. Seperti bunga ikat yang butuh sekat untuk bisa bernafas.
Begitupun cinta. Cinta butuh sekat.

Seharusnya aku pahami.
Bahwa pagi, siang, sore dan malam adalah bagian dari waktu yang menyekat kita.

0 komentar

Cerpen---Sebuah Surat Cinta

Sebuah Surat Cinta
Oleh Dian Hendar Pratiwi

Malu aku malu pada semut merah yang berbaris di dinding. Menatap curiga. Seakan penuh tanya. Sedang apa di sini? Menanti pacar jawabku.

Tidak ada yang istimewa dari bangunan ini. Sebuah kantin sekolah biasa dengan luas dua kali luas ruang kelas pada umumnya. Dua buah pintu yang kokoh menjulang berdiri di kedua sudut bangunan. Cahaya memaksa masuk merembes lewat celah-celah teralis jendela yang mulai nampak menua termakan usia. Debu berhamburan mengapung di udara samar-samar. Sementara angin mulai mengisik. Tak ada musik. Namun berisik. Kumandang dari lonceng yang diderukan pita suara setiap orang yang berkerumun di sini.
Aku duduk di sudut. Sengaja menyendiri padahal tak sendiri. Resah dan gelisah menunggu. Di meja sebelahku nampak riuh para siswa perempuan membicarakan guru bahasa Indonesia kami yang baru---yang muda dan yang tampan. Di sebelahnya lagi ada seorang siswa laki-laki kurus berkacamata duduk sendiri, sama denganku, sedang mengerjakan sesuatu entah apa. Di meja depanku ada seorang gadis dengan rambut ikal sebahu. Dia tidak bisa diam. Dia seperti duduk di atas kursi panas. Berulang kali merubah letak pantatnya. Berulang kali memeriksa jam di tangannya. Juga berulang kali melirik di handphonenya yang tidak kunjung berbunyi. Dan berulang kali pula matanya awas memandang berkeliling. Apakah dia sedang menunggu seseorang? Temannya? Atau kekasihnya? Seperti aku yang sedang menunggu seseorang. Bukan teman. Bukan pula kekasih. Hanya seseorang yang termanis dan terlucu.

0 komentar

Suatu Hari Ada Kau dan Aku

Suatu Hari Ada Kau dan Aku
Oleh Dian Hendar Pratiwi

“Jika suatu saat nanti pohon yang kutanam ini tumbuh subur dengan hasil buahnya yang bergelantungan maka kupastikan hari itu kau akan pulang dengan title sarjana. Karena kata penjualnya, waktu panen kelengkeng ini selama 4 tahun. Tepat saat pertama kali kau menjadi siswa yang maha,” ujarnya.

Kami suka menghabiskan Minggu di teras rumah. Mendengarkan musik dan bernyanyi kecil bersama. Kami juga sering sambil membaca majalah-majalah lawas.
“Aaahh..aku bosan. Ini udah baca!” seruku.
“Apa sudah kamu baca semuanya?” tanyanya.
Aku menggeleng dan dia selalu punya cara untuk mencairkan suasana bosan yang baru saja kuciptakan. Kemudian kami beralih memperhatikan pakaian para model dimajalah yang kami baca. Mendesainnya ulang ala kami. Hingga sering kali terwujudlah coretan-coretan desain baju ala kami tadi menjadi baju yang aku kenakan atau ia kenakan.
Matahari mulai menggeliat saat kami akhirnya memutuskan untuk makan siang di teras rumah. Memang terbesit perasaan nggak sopan. Hanya saja kami ingin santai di Minggu siang ini. Berdua. Hingga malam menjelang saatnya kami berbagi cerita tentang kehidupan kami. Tentang persoalan kami.

0 komentar

CERPEN --- Bahasa Hujan


Bahasa Hujan
Oleh: Dian Hendar Pratiwi

Kata orang hujan itu simbol anugrah. Seperti di kampungku, ketika proses pemakaman berlangsung lalu turun hujan berarti arwahnya mendapat berkah. Entah mitos atau kenyataan namun namanya berkah pasti setiap orang akan memburunya.
Yang jelas hujan selalu datang di kotaku. Dia datang bagai kerumunan peri-peri cantik yang turun dari khayangan. Begitu menyejukkan. Mereka datang dengan berteriak riang hingga jatuhnya berkecipakkan. Mulanya hanya satu lalu dua, tiga, empat, puluhan, ratusan, ribuan, hingga tak terkira mataku untuk menghitungnya. Hujan turun bagai tetes-tetes air mata yang mengumpul di pelupuk hingga mendung lalu akan jatuh mengalir ke bawah hingga menganak sungai. berjalan mengikuti alurnya. Bersama gerombolannya. Kalau sudah begitu kau tak kan tahu yang mana yang tadi turun lebih pertama dan mengundang temannya yang lain untuk ikut bermain di bumi.
Hujan mengisyaratkan kerinduan bagiku. Ada secarik kenangan yang tersembul dalam angan-angan yang menari membumbung. Berayun agar terlepas dari pikiran pemiliknya. Menyeret pada suatu massa yang kini tak mau lagi difikirkan.
“Kau itu pengecut!”
“Kenapa?”
“Kau bilang tak mau memikirkannya namun kau masih berbicara pada hujan tentangnya.”
“Ini bukan pengecut. Tapi setia.”
“Dan kau harus tersakiti? Hanya mengadu pada hujan yang mati.”
Aku mengabaikan ucapan teman karibku. Aku memang terlampau sering mendebatkan hujan padanya. Katanya aku bodoh. Dia mencibirku. Dia berkata hujan menghalangi langkahnya. Dia seorang yang sibuk memang. Pekerjaannya sangat bertentangan dengan hujan. Seorang pekerja lapang. Dia biasa mengomandani timnya dalam membangun bangunan-bangunan pencakar langit Ibu kota. Salah satunya kantorku ini. Dia dan timnya yang dulu mengerjakan proyeknya.
Sekarang dia sedang hijrah ke Afrika. Ada proyek jembatan yang harus Ia bangun di sana bersama timnya. Cukup lama katanya dia takkan pulang ke Indonesia. Biayanya malah. Maka dari itu diboyongnya semua keluarga kecilnya --2 bidadari cantik dan seorang ratu menawan hatinya--. Hingga suatu hari dia mengirim email padaku. Dia bertanya tentang hujan. Aneh kedengarannya.
“Bagaimana hujan di sana? Masih kau kagumi?”
“Untuk apa kau bertanya hujan?”
“Aku rindu hujanmu. Hujan pertiwi. Di sini begitu gersang menyengat.”
Aku tesenyum. Terkekeh..
Teman karibku itu adalah seorang ayah dari dua orang putri. Aku mengenalnya ketika sama-sama duduk di bangku kuliah strata 1. Dia pria yang menyenangkan. Pria yang hangat dan sangat tidak menyukai hujan. Istrinya pun aku mengenalnya. Teman masa SMA ku dulu. Malahan aku yang kala itu mengenalkan mereka. Begitulah cinta. Datang pada siapa saja yang tak pernah kau duga. Bahkan datang lalu pergi begitu saja seperti hujan yang turun tanpa permisi. Dan kau akan setia menanti redanya sebelum akhirnya kau berlalu tertelan kesibukanmu.
Hujan masih turun sore ini. Tetes demi tetesnya turun mengabdi pada pertiwi. Terkadang sesekali di sertai cahaya kilat dan gelegar petir. Aku mengamati dari dalam ruang kantorku. Hari ini kuputuskan untuk menyelesaikan beberapa pekerjaanku. Aku membikin kopi instan dan menyempatkan berdiri di sudut jendela. Sendiri dan kosong. Rekan kerjaku beberapa telah pulang dan aku menyenangi saat-saat ini.
Ruanganku berada di lantai atas gedung ini. Jadi pada posisiku kali ini aku bisa menjamah pandanganku ke sudut Ibukota. Aah, aku menghela nafas panjang, sedikit berat dan tertahan. Pikiranku melayang. Menerawang pada sosoknya yang kini entah dimana. Aku tak pernah mencoba untuk mencarinya memang. Karena bagiku semua telah berakhir. Akhir cerita cinta kita yang tak pernah berwujud. Semu.
Cinta mengajarkan kita untuk saling percaya. Tapi rasa percaya tak pernah mengajarkan kita untuk menjamin cinta itu akan tetap selalu ada. Itulah yang terjadi. Pernah kau mengutarakan maksud hatimu padaku. Kau bilang kau mencintaiku. Lalu aku pun sama. Kau mengajakku berkomitmen namun aku menolak. Bukan karena aku tak menyetujui perasaan kita. Kau kecewa. Aku tahu. Kau mengira aku sedang mempermainkan perasaanmu. Aku mengerti. Bukan. Bukan seperti yang kau pikir. Aku bahkan terlanjur mencintaimu hingga aku takut kelak aku tak kembali mencintaimu lagi. Aku hanya ingin memperpanjang kebersamaan kita. Tanpa bayang-bayang perceraian. “Kau paham?” tanyaku. Dan kau hanya terdiam. “Biarlah kita tetap begini adanya. Aku mencintaimu kau pun juga. Percayalah padaku maka aku akan percaya padamu.”
Aku hanya tak ingin kehilanganmu..
Aku begitu larut. Bayang-bayang tentang dirinya semakin nyata. Aku masih menggenggam ungkap hatinya. Dia tak pernah memberiku apa-apa. Dia tahu aku bukan seorang pemelihara barang yang baik. Itulah sebabnya aku kira dia tak pernah menghadiahi aku apapun. Walau terkadang aku iri dengan sahabat-sahabatku yang selalu menerima hadiah dari pasangannya ketika berulangtahun ataupun hari kasih sayang tiba.
Aku masih belum beranjak. Kulirik jam di tanganku, pukul 7 malam. Pantas saja perutku mulai terasa keroncongan. Hujan masih mengguyur. Aku menggeser berdiriku dan meraih biscuit yang sengaja aku bawa dari rumah pagi tadi. Ini kebiasaanku. Karena aku memang sering lupa makan karena kesibukanku. Alasan inilah yang mendorong teman-temanku pun orang tuaku menyindirku untuk segera mengakhiri masa lajang.
“Kau ini bekerja siang malam tanpa memperhatikan usiamu, nak”
“Aku tahu bu.”
“Menunggu apa kau? Cepat akhiri saja!”
Aah..aku bosan. Bukan karena aku tak sanggup mencari lelaki idaman hanya saja aku masih setia pada hujan. Karena ketika aku tak lagi sendiri pasti aku tak kan punya waktu lagi menikmati kebersamaanku dengan hujan. Aku seorang wanita yang sibuk. Dan waktu senggangku aku gunakan untuk berakhir pekan dengan keluarga –sanak saudara dan keponakanku-, terkadang dengan teman-teman ku anak-anak mereka yang lucu. Jika hari memucat dan murung aku akan berdiam diri di kamar. Menanti turunnya hujan dengan setia. Berdendang dan bercerita.
Musim cepat berlalu. Mengaburkan hari tanpa jejaknya lagi. Menyudahi pikirku untuk terus berkelana dengan masa lalu. Sosoknya begitu istimewa begitu menyejukkan. Seperti hujan yang turun perlahan dari gerimis lalu deras dan keciprat airnya akan merembes turun di kaca kamarku. Kau perhatikan saja, menyejukkan. Aku memang tak melihat wujudnya lagi. Namun masih ada secuil rasa percaya yang dulu pernah kita pupuk bersama. Rasa percaya yang telah melumpuhkan logika. Karena rasa percaya lebih dari sekedar perasaan, yaa..aku mencintaimu.
Kepalaku sedikit pening. Hamper pukul setengah delapan malam. Hujan turun sekitar 20an menit. Cukuplah untuk mengelabuhi anganku bahwa aku sedang bersamanya. Aku bergegas. Aku memutuskan meninggalkan pekerjaan kantorku dan turun ke area parkir. Aku menyalakan mesin mobilku dan segera berlalu. Aku kembali bercerita pada hujan yang kini menyisakan gerimis saja. Aku terseok dalam bayang sederhanaku. Kembali berjumpa denganmu.
Malam itu kau masih berujar kau begitu mencintaiku. Kita tenggelam dalam birahi malam yang kering tanpa hujan.
“Aku ingin hujan menemani obrolan kita mala mini.” Ujarku.
“Kenapa hujan?”
“Karena hujan berbahasa.”
“Kau ini terlalu puitis. Aku tak mengerti sama sekali.”
Aku tersenyum dan bergelayut mesra di tanganmu.
“Pada hujan aku bercerita. Tentangmu, tentang kita. Dia tahu tentang hubungan kita lho..” aku berbisik.
“Kau ini ada-ada saja.”
Aahh aku capek memikirkanmu terkadang. Tak henti tapi tak mengganguku. Inilah mengapa seharusnya kau tak perlu bilang cinta. Cinta bisa digantikan dengan uang, jabatan atau nafsu. Tapi kepercayaan tak bisa digantikan oleh apapun.
Aku memarkirkan mobilku di salah satu kedai kopi langgananku. Dulu kami sering berkunjung kemari. Setelah penat dengan kesibukan kantor dan aktivitas masing-masing. Ditengah guyuran hujan kami berlari dari area parkirnya dan segera masuk memesan kopi panas.
Hujan telah berlalu. Hanya menyisakan genangan air yang tak ku suka. Ini bagian dari hujan yang ku benci. Terlihat becek. Jelek. Aku masuk dan segera memesan kopi kesukaanku. Hot capuchino. Tak perlu lama menantinya pesananku sudah datang. Aku menerawang ke sudut kaca dan meminum sedikit demi sedikit kopiku. Kulihat seorang pria memasuki kedai kopi ini. Perawakannya tinggi. Aku tak terlalu mengenali wajahnya yang merunduk memainkan ponselnya. Langkahnya cukup mengundang perhatianku. Ia menggunakan topi dan jaket beludru coklat yang ku kenali.

***

“Sekarang kau mengerti mengapa dulu aku tak mau berkomitmen.”
“Kau bilang kau takut kehilanganku.”
“Nyatanya kau meninggalkanku 2 tahun lamanya.”
“Semuanya tiba-tiba. Malam setelah kita bersama aku mendapat telpon untuk segera bekerja di Australi, sayang.”
Aku tersenyum mengiyakan.
“Ponselku tertinggal di bandara sebelum akhirnya aku lepas landas. Maafkan aku.”
Aku mengunci bibirnya dengan telunjukku. Aku tak ingin mendengar kata maafnya lagi. Aku hanya ingin memamerkan kebersamaan kita pada hujan. Aku mengajaknya menuju kamar. Dia mengerti isyaratku dan segera menutup album foto pernikahan kami. Biarkan hujan yang berbahasa. Memaknai kekuatan arti rasa saling percaya daripada sekedar rasa mencintai.

0 komentar

Flash Fiction---Pohon Air Mata

Pohon Air Mata  

Oleh Dian Hendar Pratiwi


Aku punya kisah.
Ada diantara belukar itu, temanku menamainya pohon air mata. Karena dari pucuk-pucuk daunnya mampu meneteskan air mata. Yang menyejukkan.
Aku namai dia pohon kerinduan. Karena pohon itulah yang selalu kurindukan setiap kali aku pergi.
Pohon air mata. Kerinduan. Kami.

Langit masih menawan. Jingga. Belum terlalu pekat. Dan pohon air mata mulai berderak menggulung keanggunannya. Piawai memang. Para ranting yang menjulur sepertinya dahaga. Tak kuat harus menghitung detik mundur untuk menanti akar yang menghisap air dari dalam sana. Para ranting mulai gontai. Bukan ke atas justru ke bawah.
Desir daun menambah miris sore ini. Saling bertemu sapa. Bergesekan tanpa arogan. Seorang gadis di bawah sana. Menatap nanar pada pohon air mata. Ada keraguan untuk mendekat. Layaknya terbatas oleh waktu yang kosong. Sekosong otaknya.
Datang seekor kucing. Buruk sekali. Warnanya hitam. Kurus. Bulunya tercabik-cebik ke atas. Mungkin hampir mati. Berjalan terseok walau dengan keempat kakinya. Dia melangkah. Mendekat. Merangkak lebih cepat dari sebelumnya.
“Meeoongg..”
Seperti itu kiranya si gadis meniru suaranya. Gadis menoleh. Jijik. Si kucing berhenti tepat di bawah salah satu ranting yang terjuntai. Menegakkan kepalanya dengan payah. Menganga.
Si gadis masih terkaku diam. Melirik. Jijik. Kucing tetap menganga. Tepat di bawah salah satu ranting yang terjuntai. Menegakkan kepalanya dengan payah.
Daun kembali berdesir. Merinding. Menambah haru kala Gadis sempat terjaga sejenak. Mereka bergerombol bergumam dan terkekeh. Layaknya isyarat dari angin yang berarak merangkai kata. Kucing tak lagi menganga. Kucing melangkah tegak. Aduhay. Rupanya pohon kerinduan telah mengalirkan bulir air matanya. Kucing telah mendapat sejuknya. Tetes-tetes air mata.

***

Aku menikmati lagi sore. Di bawah pohon airmata ini. Di dalam belukar yang indah. Selalu ada banyak hal menarik di sini. Memperdebatkan arti hadirnya cinta. Membiarkan waktu bergulir ke masa dimana kami tak sekecil dulu (lagi). Bersama angin yang terus berhembus lembut. Memanjakan. Hingga larut dalam rangkaian kata. Kami.




Keterangan: Tepat 300 kata tidak termasuk judul dan keterangan.

1 komentar

Cerpen---PRIA Tengah Abad


PRIA Tengah Abad
Oleh: Dian Hendar Pratiwi
Pukul 22.00 WIB. Seorang pria berkacamata plus masih menatap tajam layar komputer di hadapannya. Jika diperhatikan rambutnya mulai nampak memutih alami. Aku ramalkan usianya tak lagi muda. Tak layak dipanggil Mas. Dengan mengenakan sarung dan kaos oblong bergambar identitas salah satu Parpol, pantatnya masih enggan beranjak dari kursi plastik itu.
Wajahnya nampak lelah namun gurat-gurat di dahinya masih menunjukkan ketegasan masa mudanya. Bola matanya lincah berpindah-pindah. Dari layar komputer ke keyboard ke blocknote lalu ke layar komputer lagi ke keyboard lagi dan ke blocknote lagi. Begitu seterusnya. Kakinya bergerak-gerak di luar kendalinya guna menghindari gigitan nyamuk yang membutuhkan makanan dari darahnya yang mulai pahit. Nampak sesekali bibirnya komat-kamit sebelum mantranya dituangkan dalam kalimat.
Nama lengkap Hendrick Jamari. Jenis kelamin laki-laki. Usia 56 tahun. Agama islam. Domisili Semarang. Pekerjaan wartawan. Status berkeluarga dengan dikaruniai seorang anak gadis.
Bersama terang bulan dia tetap hanyut dalam kesibukannya. Agaknya malam larut tak menjadi soal. Tak sedetikpun dia melirik ke jam dinding yang terus berdetak meninggalkan sore. Jemarinya masih terlalu lincah di malam yang semakin dingin. Esok pagi ketikannya harus selesai.
Rokok dipilih menjadi karibnya setiap malam. Rasa kantuknya seolah terbakar hilang bersama berlalunya asap rokoknya. Mungkin rokoklah yang paling mengerti dengan apa yang dikerjakannya. Seperti pada suatu malam, ketika aku mencoba mengajaknya berbincang dari hati ke hati dia justru menyuruhku membelikan rokok dan kembali berkutat dengan kesibukannya ketimbang mendengarkan aku berbicara. Ada rasa cemburu.
Seringkali aku maupun istrinya menasehati untuk menghentikan kebiasaan merokoknya. Satu malam satu bungkus habis dihisapnya. Hingga akhirnya pada suatu masa dia sadar rambutnya mulai memutih. Lalu dia memutuskan untuk menghentikan silaturahminya dengan rokok. Bukan karena nasehat istrinya apalagi aku. Lagi-lagi karena pekerjaannya. Dulu dia merokok sebagai teman kerjanya sekarang dia berhenti merokok demi memperpanjang usia kerjanya.
Awalnya aku tidak mengerti dengan apa saja yang dilakukan seorang wartawan. Setahuku dia selalu ke kantor pagi-pagi lalu pulang disore hari. Selang beberapa jam setelah makan malam bersama keluarganya dia kembali ke teman-temannya; computer-keyboard-blocknote. Pekerjaannya benar-benar menyita waktu
“Autis mungkin.” Kesanku dalam hati saja.
Pernah di suatu siang aku sengaja mengajaknya berkencan ke mall. Walaupun sebenarnya aku tak terlalu berharap ia menyanggupi permintaanku. Aku ingin membeli beberapa pasang baju ketika itu.
“Bisa kan lain hari? Masih banyak yang harus kuketik.” Ujarnya.
“Pengennya hari ini. Mau dipakai besok.”
Ternyata dugaanku memang benar, dia menolakku demi ketikannnya. Bukan lagi cemburu namun juga kesal yang aku rasa. Aku bahkan jadi mengutuk pekerjaannya adalah pekerjaan yang membosankan.
 “Baiklah.” Jawabnya kemudian. Entah karena merasa kasihan padaku atau memang dia juga ingin menyegarkan pikirannya sejenak. Akhirnya kami berdua pergi berboncengan. Dengan tak lupa blocknote dan pulpen –sebagai senjata wajib-.
“Kalau-kalau di jalan nanti ada berita bisa langsung ditulis.” Sederhana ungkapnya.
“Yaelaaahhh…sebegitunya amat sih?” Lagi-lagi hanya dalam hati aku berkomentar. Sudah beruntung dia mau menemaniku menghilangkan penat. Aku harap dia juga akan merasakan hal yang sama denganku. Get refresh!
Sebenarnya aku cukup dekat dan mengenal sosoknya. Namun tak pernah sedikitpun terlintas di benakku untuk menjadi sepertinya. Mengenal pribadinya yang berkarakter keras akupun tahu. Dia orang yang selalu berpikiran lugas. Dia selalu melihat masalah yang dihadapinya dari sudut pandang yang berbeda. Sifatnya inilah yang diam-diam mengharuskanku untuk mengaguminya.
Hanya mengagumi dan tetap sama, aku tidak ingin menjadikannya sosok yang hebat. Aku pikir dia hanya pintar bermain kata-kata dalam memanajemen konflik atau menyulut masalah. Aku sering menyamakan pekerjaannya dengan pekerjaan penyebar gosip. Hanya karena takut tak dapat berita maka digali saja gosip-gosip yang kemungkinan layak untuk disajikan ke publik dan mendapat respon lebih.
“Ini pekerjaan yang menyenangkan buat saya. Saya belajar otodidak dan saya menjalaninya dengan senang hati.” Ujarnya padaku di suatu sore depan rumahnya.
Dia memang mengawali karirnyanya dari bawah. Dia tidak pernah bersekolah jurnalistik sebelumnya. Masa remajanya yang tidak seindah masa remajaku membuatnya memutar otak untuk bagaimana caranya bertahan hidup. Menulis dan mencoba mengirimkan tulisannya dari satu media cetak ke media cetak lainnya. Kegagalan sudah bukan menjadi masalah baginya. Dia selalu mencoba lagi dan lagi hingga akhirnya kartu Pers terjangkau olehnya.
“Entah itu terjadi berapa tahun silam.” Gumamnya memikun.
Lalu aku sendiri? Apa yang aku sibukkan selama ini? Tanpa aku sadari hampir setiap hari aku meluangkan waktu di depan laptop untuk menulis. Di buku-buku kuliahku kalau diteliti banyak coretan kalimat sederhana yang biasanya akan aku kembangkan lagi kalimat per kalimat ketika berhadapan dengan laptop. Lalu kebiasaan Hendrick yang selalu membawa buku kecil dan pulpen kemanapun dia pergi itupun aku lakukan.
“Jalan-jalan ngapain bawa buku? Berasa kuliah aja.” Sindir salah seorang sahabatku ketika kami berencana menghabiskan akhir pekan.
“Kalau nanti di jalan ada inspirasi bisa langsung di tulis.” Jawabku sederhana.
“Aaahh..Lebay lo!”
“Bukan lebay. Tapi memang inspirasi yang paling inspiratif datang ketika kita tidak memaksa mencarinya.” Aku menjawab dengan senyuman. Tanpa kusadari pula aku mulai meniru kebiasaan Hendrick
Kemudian dua tahun silam aku bergabung dengan komunitas jurnalistik di kampusku, yaitu sebuah Lembaga Pers Mahasiswa. Aku hanya ingin memperdalam hobiku. Aku suka menulis. Aku suka menulis apa saja yang ada di otakku. Hingga aku rasa hobiku butuh tempat khusus selain di laptop. Aku butuh berkumpul dan berbagi dengan mereka yang juga berhobi sama. Sekali lagi, hobi lama yang baru aku sadari ternyata mengasikkan.
Mengasikkan? Yaa!
Kini aku mulai sedikit mengerti sapa saja yang dikerjakan seorang wartawan. Jurnalistik yang di dalamnya terdapat kegiatan tulis menulis adalah hal yang paling mengasikkan. Pantas saja kalau dia memang tak pernah jauh-jauh dari blocknote dan komputernya. Kemanapun dia pergi tak lupa mengantongi buku kecil dan pulpen. Menarik!
Tak salah jika seorang Hendrick Jamari enggan meninggalkan tanggungannya. Aku pikir alasannya mengetik tidak semata-mata untuk menghidupi keluarganya. Namun ia berkutat siang dan malam karena memang hobinya itu mengasikkan. Hobi yang kini telah menjadi pekerjaannya. Ternyata aku tak lagi mengagumi sosoknya namun juga meniru kebiasaannya.
“Kapan kamu bisa nulis?” Sindirnya suatu hari.
Aku memang terlambat untuk menyadari kemampuanku. Kemampuanku yang aku dapat juga dari dia. Dari dia yang selama ini ada di sampingku. Dari dia yang selama ini memberiku inspirasi. Dari dia yang terus memberi motivasi tanpa pernah aku sadari sebelumnya. Sindirannya itulah yang lagi-lagi tanpa sadar kujadikan motivator. Kelak suatu hari nanti aku buktikan padanya aku bisa. Aku bisa menulis seperti dia bahkan lebih. Aku tak hanya kagum padanya tapi juga bangga. Aku bangga memanggilmu “PAPA.”
Pukul 22.00 WIB. Seorang pria berkacamata plus masih menatap tajam layar komputer di hadapannya. Jika diperhatikan rambutnya mulai nampak memutih alami. Aku ramalkan usianya tak lagi muda. Tak layak dipanggil Mas. Dengan mengenakan sarung dan kaos oblong bergambar identitas salah satu Parpol, pantatnya masih enggan beranjak dari kursi plastik itu.
Wajahnya nampak lelah namun gurat-gurat di dahinya masih menunjukkan ketegasan masa mudanya. Bola matanya lincah berpindah-pindah. Dari layar komputer ke keyboard ke blocknote lalu ke layar komputer lagi ke keyboard lagi dan ke blocknote lagi. Begitu seterusnya. Kakinya bergerak-gerak di luar kendalinya guna menghindari gigitan nyamuk yang membutuhkan makanan dari darahnya yang mulai pahit. Nampak sesekali bibirnya komat-kamit sebelum mantranya dituangkan dalam kalimat.
Nama lengkap Hendrick Jamari. Jenis kelamin laki-laki. Usia 56 tahun. Agama islam. Domisili Semarang. Pekerjaan wartawan. Status berkeluarga dengan dikaruniai seorang anak gadis bernama Dian Hendar Pratiwi.

1 komentar

Ayam Saja Berkokok


Ayam Saja Berkokok
oleh Dian Hendar Pratiwi

11.35 WIB
Wajahnya tegas. Alisnya mengeryit menyatu di tengah terkadang, tanda seorang pemikir. Pipinya berisi. Bukan karena bengkak tapi memang tembem. Gurat-gurat lehernya bergelambir. Perutnya mengembung seperti ikan gembung tapi bukan pria yang sedang hamil. Dia tulen dan jantan. Aku yakin itu. Majikanku yang bilang. Walaupun Majikanku belum pernah membuktikannya. Masih mahal dicoba katanya suatu hari padaku. Majikanku ingin menjajalnya perlahan.
Setiap kali kemari pakaiannya selalu rapi. Nggak serampangan seperti teman  Majikanku yang lain. Ngobrol ngalur ngidul, ngomongin orang, ngerokok, kadang mereka juga setengah mabuk di sini. Apalagi suara kendaraan mereka yang bising. Aku tak suka ! Tapi entah sepertinya Majikanku lebih betah ber-ha-ha-hi-hi dengan teman-temannya daripada Dia yang sopan ini. Namun hanya teman-temannya lhoo.. Majikanku seorang gadis remaja yang pintar membawa diri. Mudah bergaul dengan siapa saja. Termasuk ketika dengan teman-temannya yang tidak kusuka atau dengan si Dia.
Setelannya hari ini kaos coklat muda bergambar Semar, salah satu tokoh pewayangan dalam cerita Punakawan di Jawa. Celana jeans hitam panjang dan kaos kaki putih bergaris hitam yang tetap Ia kenakan ketika masuk ke rumah Majikanku. Necis. Hanya saja jaket abu-abunya yang sedikit merusak penampilannya. Mungkin perlu dicuci. Aku tidak memperhatikannya mendalam tapi aku tahu itu.
Seperti biasa Dia kemari bukan untuk menemuiku tapi Majikanku. Tak apa. Aku malah akan bisa bebas memperhatikannya. Dia masih tetap enggan berbicara. Tak satu katapun keluar dari mulutnya. Puasa ngomong mungkin. Ku lihat Majikanku jadi merasa asing di sampingnya. Padahal sebelum perjamuan tanpa jamu hari ini dimulai. Mereka telah saling mengenal hampir setahun. Berkat seorang sahabat. Tapi kali ini bukan seperti kala itu. Sekali lagi aku tidak memperhatikannya mendalam tapi aku tahu itu.
12.05 WIB
Jari-jarinya yang tidak lentik mulai bergerilya di atas tuts-tuts laptop sambil sesekali pandangannya mengarah ke depan layar. Dia memilih untuk menyalakan laptopnya kali ini. Mungkin lebih seru daripada hanya berdiam diri berdua. Aku mulai berspekulasi dengan imajinasi kelelakianku. Mungkin saja Dia sedang menyaksikan film kartun kuda jantan yang menaiki betinanya.
BUKAN. Just playing a GAME!
12.30 WIB
“Apakabar?” Majikanku menyudahi ‘puasanya’ setelah satu jam berlalu.
“Baik. Kamu ?”
“Lumayan.”
“Kok lumayan ?”
“Yaa..begitulah. Lagi campur aduk pikirannya.”
12.45 WIB
Segelas besar sirup merah di hadapannya masih tetap sama. Tak berubah. Hanya kini gelasnya mulai berair. Bercucuran embun. Kedinginan. Majikanku sekisah dengan gelas itu pikirku. Ditambah kini Dia menyalakan A-mildnya. Rumah Majikanku lebih mirip arena hotspot sepertinya. Tempat yang cocok untuk di datangi, membuka laptop, tersaji makanan kecil serta minuman dingin, bicara pada laptop tapi orang lain yang menjawab, dan ngudud¹.
“Kamu pulang ke sana lagi kapan?” Tanyanya pada laptop.
“Masih belom tahu.” Majikanku yang mewakili jawabannya. TOLOL! Pikirku.
“Emang masuk kapan ?”
“Nggak tau juga. Biasanya libur semester ganjil sebulan.” Aku tahu Majikanku tidak tolol tapi baik. Majikanku sengaja menjawab singkat berharap ada pertanyaan lanjutan.
…….
Ternyata senyap; seperti dugaanku.
13.10 WIB
Sudah lebih dari satu jam aku menyaksikan mereka berdua. Baru kemarin siang Ia cerita kepadaku. Bagaimana Ia merindukan Dia. Namun kenyataannya hari ini Dia malah tak banyak bicara. Cuek bebek kalau kata bebek di dinding, temanku.
Sebenarnya ini bukan hal aneh tapi bukan juga biasanya. Masih dalam minggu yang sama hubungan mereka masih baik-baik saja. Mereka masih saling bertukar kabar. Termasuk diantaranya jokes mesum yang membikin Majikanku tertawa terpingkal.
Masih kata Majikanku, sepanjang perjalanannya pulang kemarin dirinya telah menyusun berbagai rencana dengan Dia. Pergi ke toko buku, mampir ke rumah Dia, ke pameran computer terbesar bulan ini, ke bioskop, beli es krim dan kemanapun lagi nantinya. Jelasnya ini semua demi mempererat hubungan mereka yang terpaut jarak selama ini.
13.20 WIB
“Aku pulang dulu yaa..”
“Hati-hati.” Majikanku menjawab dengan tersenyum.
Ternyata cukup dua sesi pertanyaan selama dua jam. Mungkin Dia sedang enggan bertemu padahal Majikanku sangat ingin memeluknya. Atau mungkin Dia mulai merasa bosan dan semakin ragu untuk meneruskan hubungannya dengan Majikanku.
Majikanku masuk ke kamarnya membanting pintu. Aku mengerti perasaannya. Aku pikir Dia keterlaluan. Ayam saja tetap berkokok meski tiap hari bertemu gerombolannya. Aku merelakan Majikanku memukul-mukulku, menendang kakiku dan tubuhku basah karena airmatanya. Aku ingin sekali menggantikan Dia memeluk dan menenangkannya. Tapi aku tak mau menyalahi kodrat Tuhan. Aku hanya bisa menjadi pendengar dan pelampias nafsu amarahnya.
Majikan kembali bercerita padaku, “Meja kau lihat sikapnya tadi? Rasa-rasanya aku menampar mukanya agar Dia mengerti kekesalanku. Aku lama tak bertemu dengan Dia. Aku ingin memeluknya dan berharap Dia merasakan hal yang sama. Tapi apa? Tak satupun kata keluar dari mulutnya!”
4 bulan kemudian-in his facebook
Adit Kurniawan in a relationship with Ammy Azzarah. Aku tak mengerti arti in a relationship yang jelas Majikanku berbisik padaku, “Semoga langgeng.”

¹ Ngudud: istilah dalam bahasa Jawa yang berarti sedang merokok/ngrokok

1 komentar

Kosong


Kosong
Oleh Dian Hendar Pratiwi

Matahari menggeliat
Belum sempurna
Masih mencoba menjelma menjadi Tuhan
Apakah matahari pencitraan dari Tuhan?
Kosong..

Aku tersontak. Terbangun masih separoh saja. Pandanganku gamang. Aku merintih dalam isak semalam. Ada cahaya yang belum tuntas kupertanyakan. Mengalir menganak sungai dalam buai mimpi. Aku menemukan sosoknya yang berbeda. Kaku. Tak seperti yang pernah ia tunjukkan padaku.
Aku mengamati langit-langit kamar. Ada untaian jaring laba-laba di sudutnya. Laba-labanya tak ada. Aku alihkan pandanganku. Mencari sosoknya yang mungkin mulai melebur. Mengais. Menjamah maya yang sebenarnya tak pernah ada.
Aku meraba ranjangku yang kosong. Tak kutemukan wujudnya yang dingin. Kau berpura-pura. Atau sebenarnya memang kau tak pernah ada?