0 komentar

Bicara


Bukan saatnya saya bicara
Bukan karena saya takut
Bukan karena saya menghindar
Tapi memang bukan saatnya saya bicara sekarang
Saya merasa jika saya bicara sekarang semua akan percuma
Saya akan dinilai bohong
Saya akan tetap dinilai sebagai pihak yang salah
Saya akan dinilai terlalu mudah menyerah
Dan saya akan menjadi saya yang selalu tertuduh
Ini bukan saatnya saya bicara

0 komentar

Dongeng Sebelum Tidur


Lalu saya putuskan untuk melangkah
Memasuki ruang yang belum saya coba sebelumnya
Meninggalkan realita yang selalu membuat saya merasa tenang
Tapi kali ini tidak
Karena langkah saya terus meninggalkan ia yang ada di belakang
Tatapan saya lurus ke depan
Lalu ada pada suatu ketika saya merasa perlu kembali
Kembali pada ia yang telah lama saya tinggalkan tadi
Mungkin mengambil bekal yang tertinggal
Saya merasa jauh dari sana
Saya merasa begitu lelah di sini
Saya butuh istirahat
Tapi itu justru akan membuang waktu saya
Saya harus segera sampai tujuan di depan sana
Meski saya sakit. Saya lelah. Saya bosan. Saya marah. Saya terjatuh. Saya menangis. Saya kecewa dan saya terluka.

0 komentar

Misterius


Lalu pada suatu hari langkah saya terhenti di depan sebuah gerbang yang tak saya inginkan. Bahkan membayangkannya pun saya tak pernah. Namun saya tetap harus melangkah. Tak ada pilihan.
Seiring dengan langkah ini, kemudian saya tersadar. Bahwa saya bisa berencana. Tapi Tuhan lebih berhak berencana. Dan rencana Tuhan terkadang begitu misterius bagi saya.
Ketika menulis catatan ini saya teringat doa yang saya ucapkan malam kemarin. Benar-benar baru kemarin. Saya berdoa agar Tuhan tidak melupakan saya. Agar Tuhan tetap menggandeng tangan saya ketika saya melewati jalan apapun.
Saya sadari memang sering kali saya berpikir tentang masa lalu dan masa sekarang. Jarang saya berpikir tentang masa depan. Mungkin itu yang seharusnya saya lakukan. Setidaknya semacam persiapan untuk menerima rencana Tuhan.

0 komentar

TALI


TALI
Oleh: @diianhp


Bayangkan bila kamu ada di sebuah gedung. Sebuah gedung yang megah berbentuk setengah lingkaran. Dindingnya berwarna putih tanpa hiasan atau lukisan dinding. Polos saja. Lantainya beralas ubin berukuran 30x30 cm juga berwarna putih. Tidak ada jendela. Tapi ada satu pintu yang besar yang terdapat di salah satu sudut ruangan ini. Pintunya bercat putih pula. Semua serba putih. Bersih.
Di dalamnya tidak hanya kamu. Namun ada banyak orang yang kamu kenal rupanya tapi asing bagimu. Mereka saling bercengkrama. Kadang juga tertawa. Lalu ada saatnya kamu menyapa mereka. Mereka balas menyapamu. Tapi tunggu dulu, tatapan mereka padamu tidak bersahabat lebih terkesan sinis dan dingin.
Kamu lalu terdiam. Tapi otak, hati dan perasaanmu tidak diam. Kamu terus berpikir apa yang salah dengan diri kamu juga dari diri mereka. Hatimu berkata benar. Tapi perkataan sering berbanding terbalik dengan kata hati. Nyatanya mereka yang benar, kamu tidak. Perasaanmu begitu lembut tapi menurut mereka perasaanmu seperti batu.
Telingamu juga selalu mendengar. Dalam diam kamu tetap mendengar. Kamu mendengar mereka bicara tentang sejuknya udara di luar gedung putih ini. Mereka bilang matahari di luar begitu hangat. Mereka bilang malam selalu terang meski langit tampak hitam pekat. Mereka bilang titik-titik cahaya di langit itu bukan kunang-kunang yang sedang menempel di langit. Namun itu bintang. Mereka bilang bulan di luar berwarna kuning. Kuning mengambang bukan di kali tapi di hamparan angkasa atas sana.
Mereka bilang dunia yang seutuhnya dunia ada di luar gedung ini.
Kemudian kamu perhatikan orang yang bertubuh paling tinggi di dalam gedung ini mulai berdiri. Tangannya menjulur ke atas. Menggapai tali yang bergelantungan dari atas langit. Maksudku lngit-langit gedung ini. Entah darimana asalnya. Namun setelah orang paling tinggi itu sampai di atas, Ia bisa keluar dari gedung pengap ini.
Kata salah satu dari mereka itu tali dari Tuhan mereka. Berkat doa mereka selama ini. Berkat keinginan mereka yang begitu kuat untuk keluar dari gedung ini.
Mulanya hanya satu yang mencoba keluar dengan memanjat tali itu.
Lalu dua.
Lalu tiga, empat.
Lima, enam, tujuh, delapan.
Terus bertambah hingga lebih dari sepuluh.
Ya. Lebih dari sepuluh orang bertubuh tinggi mencoba keluar dari gedung ini. Tak lama kemudian disusul orang yang bertubuh tak terlalu tinggi. Mereka terus bersusah payah kadang juga berebut satu dengan yang lain.
Naik. Jatuh. Naik lagi. Jatuh lagi. Dan naik lagi. Namun tak jatuh lagi.
Beberapa saat kemudian kamu merasa gedung ini tampak begitu luas juga tak terlalu pengap. Setelah orang-orang tinggi dan yang tak terlalu tinggi telah memanjat tali dan keluar.
Kini kamu mulai ikut berdiri. Mengukur tinggi tubuhmu. Tak juga pendek rupanya. Terbilang tinggi malah. Bukan! Cukup tinggi. Namun mengapa tak segera berebut tali juga dengan yang lain? Memanjat keluar dan merasakan dunia yang seutuhnya dunia seperti kata temanmu. Ikut merasakan bukan hanya mendengarkan.


Dari tempatmu berdiri, kamu masih melihat tali itu menggantung.

0 komentar

Ada Apa Dengan SGA?


Ada Apa Dengan SGA?
Oleh: Dian Hendar Pratiwi

Beberapa minggu yang lalu santer terdengar kabar penolakan penghargaan Bakrie Award oleh Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma yang kemudian akan saya singkat sebagai SGA ini merupakan salah satu penulis yang saya “pandang”. Dia seorang jurnalis yang piawai menulis cerpen, puisi dan esai. Memang belum banyak tulisannya yang saya baca. Tapi dari sedikit itu saja sudah menimbulkan kecintaan saya pada karakter tulisannya yang sarat dengan kritik sosial.
Bila selama ini saya mengetahui semacam tagline “Bila mulutmu dibungkam tajamkan penamu,” namun dari dia saya juga mengenal tagline “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.” Tagline ini sebenarnya saya ambil dari judul esainya.
Lalu beberapa minggu lalu saya terusik dengan berita yang beredar. Saya membaca di beberapa media on-line ketika itu. Penasaran dengan apa yang terjadi, saya menelusuri blog pribadi SGA. Di sana secara resmi dia menyatakan menolak pemberian penghargaan itu dengan alasan penghargaan itu lebih layak diberikan pada orang lain.

Ini link pernyataan sikapnya:

Saya mengenal tulisan SGA begitu berani, lugas dan tegas. Namun kali ini saya tidak mendapatkan itu. Pernyataan sikap yang ditulis di blog pribadinya membuat saya berpikir apakah itu hanya alasan yang dibuat-buatnya saja?
Menilik ke belakang, beberapa jurnalis dan sastrawan juga pernah melakukan aksi serupa. Sitor Situmorang pada tahun 2010 pernah menolak penghargaan bidang sastra Bakrie Award. Beberapa tahun sebelumnya, Franz Magnis-Suseno, seorang yang dikenal sebagai pastor dan filsuf yang pernah menerbitkan beberapa buku juga menolak Bakrie Award 2007.
Tak hanya itu mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef juga menolak anugerah Bakrie Award. Daoed Joesoef mendapat anugerah Bakrie Award bidang pemikiran sosial. Kemudian secara mengejutkan di tahun yang sama, 2010, budayawan yang juga tokoh pers Goenawan Mohamad  mengembalikan penghargaan Bakrie Award yang sebelumnya diterima Gunawan pada 2004.
Para tokoh tersebut menolak atau mengembalikan penghargaan Bakrie Award dengan alasan yang jelas. Mereka ini merasa Bakrie perlu menuntaskan kasus terkait PT. Lapindo. Seperti yang diungkapkan Romo Franz, beliau menolak karena keluarga Bakrie merupakan pemilik mayoritas PT Lapindo Brantas yang sedang bermasalah dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo. (itoday.co.id)
Saya berharap SGA juga berstatement demikian. Setidaknya menjawab pertanyaan publik –seperti saya- yang bermunculan. Jangan-jangan SGA hanya melakukan aksi solidaritas saja, karena teman sastrawan  lainnya pernah melakukan hal yang serupa.

1 komentar

Pulang! (Part 2)


Pulang!

Momentnya lagi tepat!
Minggu-minggu ini saya sedang dihinggapi perasaan yang tak karuan. Kalau digambarkan seperti sedang makan permen nano-nano 5 butir sekaligus dan membiarkannya terbenam dalam mulut. Jadi berasa banget tu manis, asem, pahit, asin, getir, dan umami mungkin –saya akui bagian ini sedikit lebay-.
Pertama, soal akademis saya. Walaupun saya tak sendiri tapi saya merasa cukup kewalahan mengurus PKL ini. Ada saja kendala yang saya alami. Nggak perlu diceritakan di sini karena sama saja mengungkit hal yang tak ingin saya ungkit. Tapi saya masih optimis, Tuhan Maha Asik, semoga PKL yang cukup tertatih –bahkan sangat tertatih- ini akan ada hikmahnya buat saya.
Kedua, saya sedang terjerat masalah dengan salah seorang teman saya –awalnya- kemudian berdampak pada orang-orang disekeliling kami. Jujur saja, perasaan ini sangat mengganggu pikiran saya. Papa saya selalu berpesan, jangan pernah menyakiti perasaan orang lain. Tapi dalam seminggu ini saya telah menyakiti 2 atau mungkin 3 perasaan orang lain.
Pada tulisan sebelumnya, saya menulis bahwa saya benar-benar menyesal dengan tindakan bodoh ini. Di sana pula saya menulis bahwa saya merasa bukan diri saya biasanya.
Sesaat kemudian saya merasa takut. Saya takut dibilang licik. Mungkin berapa kali saya jelaskan, saya akan tetap dinilai licik, jahat, tidak manusiawi, penusuk dari belakang atau ekstrimnya saya akan dituduh merendahkan diri guna mendapat simpatik orang. Saya takut itu semua dan saya sedang merasa di bawah ancaman itu.
Saya menyakiti perasaan orang-orang yang saya banggakan. Mereka kecewa dan bodohnya saya baru sadar tindakan dan pemikiran saya salah setelah mereka mengatakannya pada saya. saya makin kecewa dengan diri saya. kepercayaan diri saya makin hilang. Saya nggak punya muka untuk bertemu dengan mereka. Meski saya jamin, saya akan tetap bersikap professional tapi kejadian ini menjadi pelajaran berharga buat saya.
Dalam kondisi seperti ini siapa yang tak ingin pulang. Jujur saja, saya capek. Saya ingin sejenak menghirup udara di kamar rumah saya. memeluk mama saya, memasak untuk rumah, menemani papa saya nonton tivi, makan malam ber-3 lalu muncul cerita-cerita lucu di dalamnya.
Tapi lagi-lagi saya bicara keadaan. Keadaan mengharuskan saya tetap bertahan di kota ini. Tuhan memberi titah pada saya untuk tetap di sini. Mungkin sedang mendidik saya dengan pengalaman dan kisah yang jalannya harus saya lalui dengan rasa bingung, pusing dan entahlah harus bersikap apa.

“Perasaan saya kacau, Tuhan. Bagaimana denganmu?”

0 komentar

Pulang! (Part 1)


Pulang!

Saat ini saya sedang berada di depan ruang G kampus TP –kampus saya-. Beberapa menit yang lalu, mungkin sekitar 45 menit, saya mengumpulkan revisi usul PKL ke meja dosen pembimbing. Ya, inilah kesibukan saya pasca kegiatan akademis dan organisasi di semester lalu.
Suasana sedang benar-benar sepi, karena memang sekarang sudah memasuki musim libur semester genap. Beberapa teman saya bergerombol membentuk koloni di depan ruang dosen. Apalagi kegiatannya kalau nggak nungguin dosen.
Lalu saya sengaja menyendiri di sini. Dengan earphone yang memutar lagu-lagu kesukaan saya lalu membuka laptop dan on-line. Sesaat kemudian saya menyadari sesuatu. saya merindukan suasana seperti ini. sepi. Sendirian.
Saya menghirup nafas dalam-dalam. Terlintas pula bayangan orang tua saya. saya rindu. Mungkin mereka juga. Baru kemarin saya pulang. Hanya beberapa hari untuk keperluan pembuatan e-ktp. Mama sakit kala itu. dan ini pertama kalinya aku melihat mama nggak punya semangat. Dia bilang, dia merindukanku. “Aku juga,” kujawab dalam hati saja.

0 komentar

Cerita Hati


Mama saya selalu berkata, “yang tau keadaan itu kamu sendiri. Selama itu positif, baik untuk kamu dan nggak mengganggu LAKUKAN!”

Setiap keputusan selalu beresiko. Itu konsekuensinya. Kali ini saya benar-benar tidak bisa berpikir logis. Saya juga tidak mengikuti kata hati kecil saya. Saya merasa bukan saya biasanya. Saya merasa menjadi orang lain. Saya mengikuti pandangan kasat mata.
Saya melihat setiap orang akan mampu ketika dia punya ambisi, punya harapan dan punya cita-cita. Saya pikir itu adalah tekad dan tekad menjadi dasar dari langkah seseorang. Kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri, bagaimana tekad saya? Apa tujuan saya? Apa ambisi, harapan dan cita-cita saya.
Saya bisa menjawab itu semua dengan lantang dalam hati. yaa..hanya dalam hati. Tapi saya terlalu munafik. Saya membohongi diri saya sendiri. Apa yang saya ucapkan nyatanya berlawanan dengan hati saya. Saya tidak bisa berpikir jernih kali ini.
Ini sifat buruk saya, saya terlalu bodoh untuk membiarkan orang lain berkembang padahal saya sendiri belum berkembang. Seorang teman saya berkata kelak saya akan menyesal jika selamanya saya selalu mengambil keputusan yang tidak mengikuti kata hati. Saya berani bersumpah. Ini pertama kalinya bagi saya. Dan mungkin benar, saya menyesal.

0 komentar

Belajar dari Kemenangan Regina “Idol”


Belajar dari Kemenangan Regina “Idol”
Oleh Dian Hendar Pratiwi

“Dan yang menjadi The Next Indonesian Idol, Indonesia memilih.. REGINA!!!”

Begitulah kira-kira yang diserukan Daniel Mananta, presenter acara ajang pencarian bakat menyanyi, Indonesian Idol. Gemuruh sontak meraung di setiap sudut bangku penonton. Pelukan selamat langsung disematkan Sean, kompetitornya.
Seperti yang telah kita ketahui bersama dari ajang tersebut kontestan asal Jakarta, Regina, dinobatkan menjadi Idola baru Indonesia. Kontestan tertua di Indonesian Idol 2012 ini mengaku telah mengikuti 6x ajang Indonesian Idol dan selalu gagal. Namun berkat kerja keras, tekad, kegigihan dan kemauannya untuk terus belajar mengantarkannya menjadi The Next Indonesian Idol. Tak tanggung-tanggung Regina tak pernah sekalipun berada di peringkat bottom three.
Dari tontonan ini akhirnya membuat saya berpikir bahwa lagi-lagi kita bicara soal kerja keras. Kerja keras dalam berproses. Regina tidak sekali jatuh. Namun berkali-kali. Dilangsir oleh beberapa media on-line, tahun ini juga menjadi tahun terakhir bagi usianya untuk mengikuti ajang tersebut. Jika dia jera dan tidak mengambil form pendaftarannya lagi waktu itu, dia tidak akan ada di posisi ini.
Mungkin kegagalannya kala itu bukan menjadi hal yang kemudian disesali bagi Regina. Dia terus belajar dan mengevaluasi diri. Secara tidak langsung kegagalan-kegagalan berikutnya semakin mendewasakannya. Dalam arti dewasa dalam bersikap dan menerima kenyataan. Regina tau masih ada yang salah dan perlu dibenahi untuk maju di Idol selanjutnya.
Menurut saya Regina bukan hanya orang yang beruntung tapi orang yang memang pantas menjadi juara. Dia mau belajar dengan segala kerja keras dan kegigihannya. Tekadnya kuat dan tujuannya jelas yaitu menjadi sempurna diajang ini. Bila dia akhirnya berhasil ini merupakan buah dari pembelajaran pasca kegagalannya yang lalu.
Hal-hal sepele macam inilah yang seharusnya bisa kita pelajari. Sekali lagi, kerja keras, tekad yang kuat, gigih, terus belajar dan mengevaluasi diri menjadi modal utama di setiap perjalanan. Perjalanan yang kemudian kita sebut itu proses. Proses yang kemudian mendewasakan kita untuk menerima dan mengerti arti dari sebuah kegagalan.

“Harus diakui bahwa manusia hidup butuh pengakuan. Tapi yang harus diyakini adalah proses untuk bisa hidup dan bertahan itu lebih penting dari sebuah pengakuan. (-dHp-)”

0 komentar

Menulislah Dari Hati


Menulislah dari hatimu..
Menulislah apa saja yang dapat kau lihat, dengar dan rasakan..
(dHp)

Bagi saya, menulis adalah cara termudah untuk menggambarkan pikiran, perasaan dan tanda tanya. Dulu, ketika SD saya memaknai menulis sebatas curhat di buku diary. Saya memang suka curhat. Tapi lebih dari itu, saya suka menuliskan curhatan saya di sebuah buku kecil dan selalu saya simpan dalam laci meja belajar saya. Saya ingat, hampir tiap hari minimal sekali saya menulis di buku diary itu. Saya biasa menulis buku diary saat malam tepat sebelum saya tidur. Saya menulis apa yang saya kerjakan seharian itu. Bagaimana guru-guru saya di sekolah, teman sepermainan, kadang kejengkelan saya dengan orang tua, dan kadang pula tentang pria yang pernah saya sukai di jaman itu. Yaa.. kelas 5 SD adalah pertama kalinya saya suka memperhatikan lawan jenis saya. Dia senior saya, Aprilian namanya. Sekarang dia dimana yaa?? Hehe..
Selain menulis saya juga suka membaca. Saya langganan majalah Bobo ketika itu. Saya lupa dulu Bobo terbit bulanan atau mingguan ya? Kalau nggak salah, terbit mingguan, tiap hari Kamis. Yang jelas saya ingat, saya selalu menunggu Mas Pengantar Majalah ini di depan pagar rumah. Lalu halaman pertama yang akan saya baca adalah Cerita Nirmala Dari Negeri Dongeng lalu Bona dan Rong-Rong. Dulu saya selalu terkesima dengan 2 kisah itu. Mungkin kalau sekarang saya bisa mendeskripsikan keduanya adalah kisah yang sederhana dengan visualisasi yang mudah terekam dalam benak anak-anak. Hhmmm..ada yang masih ingat dengan kisah-kisah mereka?
Sekarang, saya semakin tahu bahwa menulis tidak sebatas buku diary dan membaca tidak sebatas bacaan sederhana dengan visualisasi yang menarik. Rasa penasaran saya muncul ketika saya dihadapkan dengan sesuatu. Kadang lebih dari itu, berawal dari emosi yang ingin saya luapkan dengan cara saya, yaitu lewat tulisan
Mudahnya begini, saya menulis tentang segalanya yang saya mau tulis. Saya ingin menulis berita yaa saya cari data kemudian saya tulis. Saya ingin beropini yaa saya kumpulkan “emosi” saya dan fakta pendukungnya. Lalu bila saya ingin menulis dengan bahasa yang dipanjang-panjangkan dan bertele-tele hingga terkesan lebih indah dari berita serta kadang sifatnya sindiran yaa saya akan menulis cerpen. Dan bila ingin menulis bahasa indah tetapi malas bertele-tele yaa saya tulis puisi. Jadi saya tidak sependapat jika seorang penulis harus konsekuen dengan bidang tulisannya. Memang, tulisan jurnalistik jauh berbeda dengan sastra. Namun menurut saya keduanya hadir bukan untuk disekat namun untuk direkatkan. Karena tulisan jurnalistik dan sastra bermula dari bidang yang sama, yaitu literasi.
Beberapa hari yang lalu seorang teman saya bertanya, “Pernahkah mengalami kesulitan menulis?” Saya jawab; SERING. Kenapa? Meskipun menulis sudah saya lakukan sejak SD namun setiap kali menulis judul baru saya selalu memposisikan sebagai penulis baru. Penulis yang tidak tahu apa-apa tentang teknik menulis. Hingga kemudian memaksa saya untuk mencari data yang baru, mencari ide kreatif yang baru, analisis yang lebih baru, dan menciptakan hasil tulisan yang baru yang sebelumnya jelas belum pernah saya tulis. Semuanya baru. Jadi jangan takut merasa kesulitan menulis karena itu merupakan awal dari keharusan kita menemukan hal-hal yang baru.
Jadi menurut saya, lupakan segala tulisan yang lalu, jadilah yang baru disetiap judul tulisan yang baru. Gali semuanya. Anggap belum pernah menulis. Jangan pikirkan teknik menulis yang baik di awal. Singkirkan sejenak. Karena itu akan mematikan kreativitas. Tulis dulu semua apa yang bisa ditulis. Saat editing, adalah waktu yang tepat untuk memperhatikan segala yang tadi disingkirkan. Ini saya terapkan dalam menulis berita, beropini maupun menulis cerpen dan puisi.
Tidak usah takut kehilangan ide. Ide datang dengan sendirinya. Tangkap apa yang terlintas di benak kita. Tuangkan dalam kalimat. Bikin yang sederhana tapi bikin penasaran. Meski saya akui, itu tak mudah. Namun, itu akan menjadi mudah bila tahu kuncinya, yaitu membaca. Cari referensi dari berbagai bacaan.
Bacaan apapun bisa dibaca. Jangan membatasi diri. Seperti menulis, membaca juga saya lakukan semau saya. Saya ingin baca koran, majalah atau buku filsafat yaa saya baca. Kalau saya merasa bosan, saya letakkan. Begitu pula dengan buku kumpulan cerpen, puisi atau novel. Buku bacaan itu bukan sekedar dibaca tapi dimengerti kenapa penulis menulis buku semacam ini. Apa yang menarik di dalamnya lalu terapkan dalam tulisan. Jadi saya tidak pernah bisa menyelesaikan buku yang dipinjam dari persewaan buku. Lain lagi kalau komik, mungkin sehari bisa berkomik-komik.
Diakhir tulisan ini, saya akan menutupnya dengan pertanyaan teman saya yang lain. Dia bertanya, “Bagaimana mengawali sebuah tulisan?” Saya jawab, “BACALAH.” Kemudian dia bertanya kembali, “Lalu?” Saya jawab lagi, “BACALAH.” Teman saya mulai mengerutkan dahinya, “Lalu setelah membaca?” tanyanya. Saya jawab lagi, “BACALAH.” “Iya, setelah membaca?” tanyanya mulai kesal. “Menulislah.”

0 komentar

Tulisan dari Suatu Hari..


“Kita besar di Agrica
Jadi kita harus membesarkan Agrica..”

Itu adalah sebait kalimat yang di ungkapkan Pimpinan Umum saya, Mas Arif Ardiawan. Kalimat yang ditulisnya via pesan singkat itu yang pada akhirnya membuat saya akhir-akhir ini berpikir. Layaknya pekerjaan kita di Agrica --pencari berita karena rasa ingin tahu, peduli dan emosi pribadi, tanpa bayaran—timbul 5W+1H dalam pikiran saya.

Apa yang bisa saya lakukan? Kapan saya mulai harus melakukan? Dimana seharunsya saya berada? Mengapa saya di sini? Siapa yang akan mendampingi saya nanti? Dan Bagaimana cara saya melakukannya?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang kemudian timbul-tenggelam dalam pikiran saya. Seperti ada magnet yang mau tak mau saya tertahan di sana, untuk berdiam sejenak memikirkannya. Terutama saat saya di kantor, sebuah sekre yang biasa tempat kita berkumpul.
Saat seperti ini kadang saya merasa begitu bodoh. Kenapa saya harus memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya bingung sendiri. namun semakin saya merasa begitu bingung lantas merasa bodoh, saya semakin menggalinya.
Saya teringat apa yang diucapkan mbah kala up gradding beberapa minggu yang lalu. “Yang saya dapatkan di Agrica banyak. Saya dapatkan Standy, Em, Pipit, Nhya, Dinacyl,” katanya sambil menunjuk mereka satu per satu. Dan inilah yang tidak saya sadari.
Sore ini saya sadar, seharusnya saya membuang jauh pertanyaan-pertanyaan yang saya buat sendiri tadi. Harusnya saya membuat pertanyaan yang lebih sederhana. “Apa yang sudah saya dapatkan di Agrica?”
“Saya mendapat pelajaran yang tidak saya dapatkan dari dosen di bangku kuliah. Tentang sebuah kerja keras, tanggung jawab, menghargai, keluarga, komitmen, visi, misi dan semua terangkum dalam sebuah kata Profesionalisme.”

Jurnalistik dan keluarga baru, adalah alasan sederhana saya bertahan.. 

0 komentar

Kamu...
Oleh: Dian Hendar Pratiwi


 








Bila rangkaian huruf-huruf itu adalah namamu
Ijinkan aku mengejanya perlahan penuh rindu..

Senja merapat turun. Sesaat setelah semuanya berlalu dengan senyum dalam hati. Kau melangkah pergi. Dan aku masuk ke dalam rumahku. Semua nampak seperti biasanya namun tidak pada hati ini. Kau yang telah lancang masuk dalam hatiku yang sekian lama tertutup debu keputusasaan kini meninggalkan jejak.

2 komentar

KAMPUS goes to KOMPAS

Berakhirnya ujian-ujian dan tugas-tugas akademik semester ini ditutup dengan acara jalan-jalan bareng LPM AGRICA ke Jakarta. Grand tema acara kita adalah "Kampus goes to Kompas". seperti judulnya udah kelihatan bahwa salah satu tujuan kita di Jakarta nanti adalah Kompas.

Oke. Perjalanan di mulai dari kampus pertanian UNSOED hari Selasa (17/1/2012) sekitar jam 18.00 WIB.


inilah foto suasana di dalam bus pertama kali kita mau berangkat.
yang depan putih2, yang belakang item2. kameramennya ga handal :(

0 komentar

Opini Untuk Mas Presiden

Pergeseran Paradigma Politik Kampus
Oleh: Dian Hendar Pratiwi

Politik kampus nampaknya mengalami pergeseran paradigma. Dunia kampus yang sejatinya menjadi central pembelajaran intelektualisme nyatanya kini omong kosong belaka. Demi meraup kekuasaan tertinggi kemahasiswaan, segala kecurangan dan kebohongan dihalalkan. Hal ini diimbangi dengan berbagai macam janji-janji yang terdengar justru menjijikan. Mereka tidak menyadari, apa yang mereka umbar adalah serangkaian masalah-masalah baru yang nantinya membayangi.
Cukup bermodalkan lihai memanajemen isu, para mahasiswa ini beramai-ramai terjun ke kancah politik demi kekuasaan dan kemenangan golongan. Timbul istilah black campaign atau kampanye hitam. Kampanye politik yang sangat rapi dan lihai dilakukan oleh para tim sukses calon. Saling menjatuhkan lawan politik dengan menjelek-jelekkan bahkan memfitnah demi membunuh citra lawan politik. Inilah tren politik yang terus berkembang dengan pesat.
Sebenarnya, berpolitik adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, dalam politik selalu ada ”aturan main” dan etika yang harus diindahkan tanpa bertolak belakang dengan tujuan yang diharapkan. Dalam frame Mahatma Ghandi, seorang tokoh revolusioner India, setiap tujuan yang ingin dicapai harus selaras dan seimbang dengan metode dan tata cara yang dilakukan. Mustahil hasil dari tujuan dinilai baik jika metode yang digunakan adalah dengan jalan yang buruk. Begitulah kiranya yang dimaksud dengan politik yang ”bersih”. Sebagaimana pernah diungkapkan Plato bahwa politik adalah seni mempengaruhi orang lain dengan kecerdikan dan kecerdasan, Bukan dengan keculasan dan kebohongan serta cara-cara keji yang menghalalkan segala macam aturan demi meraih keinginan.

1 komentar

When First I Saw You, I'm Fall in Love

"..Let me love you. With all my heart.
You are the one for me. You are the light in my soul.
Let me hold you. with my arms. I wanna feel love again.
And I Know, love is you.."






Aku tak pernah menyangka sebelumnya.
Bila akhirnya semua bermuara padamu.
Sejak ujung mata kita saling beradu dan sungging senyummu terlempar hingga menundukkan nyali.


Kau yang sempurna.
Tak pernah terpikirkan untuk kubuat perasaan seperti ini.
Bahkan aku tak percaya, hati bisa bertaut hanya karena pandangan pertama.
Namun, ketika waktu mengunci tatapan kita, aku menyerah.


'aku terjebak perasaan.’


Namun aku memilih diam saja.
Membenam perasaan.
Berperan menjadi ahli nujum.
Menerka nerka, 'samakah yang kau rasakan padaku?'
Nyatanya hingga detik ini kita masih sibuk membangun jarak.
Semukah perasaan ini?


Aku memang tak pandai menerjemahkan rasa.
Atau mungkin, aku terlalu gengsi menepis tak ada cinta pandangan pertama
Entahlah..


Biarlah waktu yang mengunci tatapan kita sejenak.
Karena, ‘aku jatuh cinta kali ini.’