0 komentar

CERPEN --- Bahasa Hujan


Bahasa Hujan
Oleh: Dian Hendar Pratiwi

Kata orang hujan itu simbol anugrah. Seperti di kampungku, ketika proses pemakaman berlangsung lalu turun hujan berarti arwahnya mendapat berkah. Entah mitos atau kenyataan namun namanya berkah pasti setiap orang akan memburunya.
Yang jelas hujan selalu datang di kotaku. Dia datang bagai kerumunan peri-peri cantik yang turun dari khayangan. Begitu menyejukkan. Mereka datang dengan berteriak riang hingga jatuhnya berkecipakkan. Mulanya hanya satu lalu dua, tiga, empat, puluhan, ratusan, ribuan, hingga tak terkira mataku untuk menghitungnya. Hujan turun bagai tetes-tetes air mata yang mengumpul di pelupuk hingga mendung lalu akan jatuh mengalir ke bawah hingga menganak sungai. berjalan mengikuti alurnya. Bersama gerombolannya. Kalau sudah begitu kau tak kan tahu yang mana yang tadi turun lebih pertama dan mengundang temannya yang lain untuk ikut bermain di bumi.
Hujan mengisyaratkan kerinduan bagiku. Ada secarik kenangan yang tersembul dalam angan-angan yang menari membumbung. Berayun agar terlepas dari pikiran pemiliknya. Menyeret pada suatu massa yang kini tak mau lagi difikirkan.
“Kau itu pengecut!”
“Kenapa?”
“Kau bilang tak mau memikirkannya namun kau masih berbicara pada hujan tentangnya.”
“Ini bukan pengecut. Tapi setia.”
“Dan kau harus tersakiti? Hanya mengadu pada hujan yang mati.”
Aku mengabaikan ucapan teman karibku. Aku memang terlampau sering mendebatkan hujan padanya. Katanya aku bodoh. Dia mencibirku. Dia berkata hujan menghalangi langkahnya. Dia seorang yang sibuk memang. Pekerjaannya sangat bertentangan dengan hujan. Seorang pekerja lapang. Dia biasa mengomandani timnya dalam membangun bangunan-bangunan pencakar langit Ibu kota. Salah satunya kantorku ini. Dia dan timnya yang dulu mengerjakan proyeknya.
Sekarang dia sedang hijrah ke Afrika. Ada proyek jembatan yang harus Ia bangun di sana bersama timnya. Cukup lama katanya dia takkan pulang ke Indonesia. Biayanya malah. Maka dari itu diboyongnya semua keluarga kecilnya --2 bidadari cantik dan seorang ratu menawan hatinya--. Hingga suatu hari dia mengirim email padaku. Dia bertanya tentang hujan. Aneh kedengarannya.
“Bagaimana hujan di sana? Masih kau kagumi?”
“Untuk apa kau bertanya hujan?”
“Aku rindu hujanmu. Hujan pertiwi. Di sini begitu gersang menyengat.”
Aku tesenyum. Terkekeh..
Teman karibku itu adalah seorang ayah dari dua orang putri. Aku mengenalnya ketika sama-sama duduk di bangku kuliah strata 1. Dia pria yang menyenangkan. Pria yang hangat dan sangat tidak menyukai hujan. Istrinya pun aku mengenalnya. Teman masa SMA ku dulu. Malahan aku yang kala itu mengenalkan mereka. Begitulah cinta. Datang pada siapa saja yang tak pernah kau duga. Bahkan datang lalu pergi begitu saja seperti hujan yang turun tanpa permisi. Dan kau akan setia menanti redanya sebelum akhirnya kau berlalu tertelan kesibukanmu.
Hujan masih turun sore ini. Tetes demi tetesnya turun mengabdi pada pertiwi. Terkadang sesekali di sertai cahaya kilat dan gelegar petir. Aku mengamati dari dalam ruang kantorku. Hari ini kuputuskan untuk menyelesaikan beberapa pekerjaanku. Aku membikin kopi instan dan menyempatkan berdiri di sudut jendela. Sendiri dan kosong. Rekan kerjaku beberapa telah pulang dan aku menyenangi saat-saat ini.
Ruanganku berada di lantai atas gedung ini. Jadi pada posisiku kali ini aku bisa menjamah pandanganku ke sudut Ibukota. Aah, aku menghela nafas panjang, sedikit berat dan tertahan. Pikiranku melayang. Menerawang pada sosoknya yang kini entah dimana. Aku tak pernah mencoba untuk mencarinya memang. Karena bagiku semua telah berakhir. Akhir cerita cinta kita yang tak pernah berwujud. Semu.
Cinta mengajarkan kita untuk saling percaya. Tapi rasa percaya tak pernah mengajarkan kita untuk menjamin cinta itu akan tetap selalu ada. Itulah yang terjadi. Pernah kau mengutarakan maksud hatimu padaku. Kau bilang kau mencintaiku. Lalu aku pun sama. Kau mengajakku berkomitmen namun aku menolak. Bukan karena aku tak menyetujui perasaan kita. Kau kecewa. Aku tahu. Kau mengira aku sedang mempermainkan perasaanmu. Aku mengerti. Bukan. Bukan seperti yang kau pikir. Aku bahkan terlanjur mencintaimu hingga aku takut kelak aku tak kembali mencintaimu lagi. Aku hanya ingin memperpanjang kebersamaan kita. Tanpa bayang-bayang perceraian. “Kau paham?” tanyaku. Dan kau hanya terdiam. “Biarlah kita tetap begini adanya. Aku mencintaimu kau pun juga. Percayalah padaku maka aku akan percaya padamu.”
Aku hanya tak ingin kehilanganmu..
Aku begitu larut. Bayang-bayang tentang dirinya semakin nyata. Aku masih menggenggam ungkap hatinya. Dia tak pernah memberiku apa-apa. Dia tahu aku bukan seorang pemelihara barang yang baik. Itulah sebabnya aku kira dia tak pernah menghadiahi aku apapun. Walau terkadang aku iri dengan sahabat-sahabatku yang selalu menerima hadiah dari pasangannya ketika berulangtahun ataupun hari kasih sayang tiba.
Aku masih belum beranjak. Kulirik jam di tanganku, pukul 7 malam. Pantas saja perutku mulai terasa keroncongan. Hujan masih mengguyur. Aku menggeser berdiriku dan meraih biscuit yang sengaja aku bawa dari rumah pagi tadi. Ini kebiasaanku. Karena aku memang sering lupa makan karena kesibukanku. Alasan inilah yang mendorong teman-temanku pun orang tuaku menyindirku untuk segera mengakhiri masa lajang.
“Kau ini bekerja siang malam tanpa memperhatikan usiamu, nak”
“Aku tahu bu.”
“Menunggu apa kau? Cepat akhiri saja!”
Aah..aku bosan. Bukan karena aku tak sanggup mencari lelaki idaman hanya saja aku masih setia pada hujan. Karena ketika aku tak lagi sendiri pasti aku tak kan punya waktu lagi menikmati kebersamaanku dengan hujan. Aku seorang wanita yang sibuk. Dan waktu senggangku aku gunakan untuk berakhir pekan dengan keluarga –sanak saudara dan keponakanku-, terkadang dengan teman-teman ku anak-anak mereka yang lucu. Jika hari memucat dan murung aku akan berdiam diri di kamar. Menanti turunnya hujan dengan setia. Berdendang dan bercerita.
Musim cepat berlalu. Mengaburkan hari tanpa jejaknya lagi. Menyudahi pikirku untuk terus berkelana dengan masa lalu. Sosoknya begitu istimewa begitu menyejukkan. Seperti hujan yang turun perlahan dari gerimis lalu deras dan keciprat airnya akan merembes turun di kaca kamarku. Kau perhatikan saja, menyejukkan. Aku memang tak melihat wujudnya lagi. Namun masih ada secuil rasa percaya yang dulu pernah kita pupuk bersama. Rasa percaya yang telah melumpuhkan logika. Karena rasa percaya lebih dari sekedar perasaan, yaa..aku mencintaimu.
Kepalaku sedikit pening. Hamper pukul setengah delapan malam. Hujan turun sekitar 20an menit. Cukuplah untuk mengelabuhi anganku bahwa aku sedang bersamanya. Aku bergegas. Aku memutuskan meninggalkan pekerjaan kantorku dan turun ke area parkir. Aku menyalakan mesin mobilku dan segera berlalu. Aku kembali bercerita pada hujan yang kini menyisakan gerimis saja. Aku terseok dalam bayang sederhanaku. Kembali berjumpa denganmu.
Malam itu kau masih berujar kau begitu mencintaiku. Kita tenggelam dalam birahi malam yang kering tanpa hujan.
“Aku ingin hujan menemani obrolan kita mala mini.” Ujarku.
“Kenapa hujan?”
“Karena hujan berbahasa.”
“Kau ini terlalu puitis. Aku tak mengerti sama sekali.”
Aku tersenyum dan bergelayut mesra di tanganmu.
“Pada hujan aku bercerita. Tentangmu, tentang kita. Dia tahu tentang hubungan kita lho..” aku berbisik.
“Kau ini ada-ada saja.”
Aahh aku capek memikirkanmu terkadang. Tak henti tapi tak mengganguku. Inilah mengapa seharusnya kau tak perlu bilang cinta. Cinta bisa digantikan dengan uang, jabatan atau nafsu. Tapi kepercayaan tak bisa digantikan oleh apapun.
Aku memarkirkan mobilku di salah satu kedai kopi langgananku. Dulu kami sering berkunjung kemari. Setelah penat dengan kesibukan kantor dan aktivitas masing-masing. Ditengah guyuran hujan kami berlari dari area parkirnya dan segera masuk memesan kopi panas.
Hujan telah berlalu. Hanya menyisakan genangan air yang tak ku suka. Ini bagian dari hujan yang ku benci. Terlihat becek. Jelek. Aku masuk dan segera memesan kopi kesukaanku. Hot capuchino. Tak perlu lama menantinya pesananku sudah datang. Aku menerawang ke sudut kaca dan meminum sedikit demi sedikit kopiku. Kulihat seorang pria memasuki kedai kopi ini. Perawakannya tinggi. Aku tak terlalu mengenali wajahnya yang merunduk memainkan ponselnya. Langkahnya cukup mengundang perhatianku. Ia menggunakan topi dan jaket beludru coklat yang ku kenali.

***

“Sekarang kau mengerti mengapa dulu aku tak mau berkomitmen.”
“Kau bilang kau takut kehilanganku.”
“Nyatanya kau meninggalkanku 2 tahun lamanya.”
“Semuanya tiba-tiba. Malam setelah kita bersama aku mendapat telpon untuk segera bekerja di Australi, sayang.”
Aku tersenyum mengiyakan.
“Ponselku tertinggal di bandara sebelum akhirnya aku lepas landas. Maafkan aku.”
Aku mengunci bibirnya dengan telunjukku. Aku tak ingin mendengar kata maafnya lagi. Aku hanya ingin memamerkan kebersamaan kita pada hujan. Aku mengajaknya menuju kamar. Dia mengerti isyaratku dan segera menutup album foto pernikahan kami. Biarkan hujan yang berbahasa. Memaknai kekuatan arti rasa saling percaya daripada sekedar rasa mencintai.

0 komentar

Flash Fiction---Pohon Air Mata

Pohon Air Mata  

Oleh Dian Hendar Pratiwi


Aku punya kisah.
Ada diantara belukar itu, temanku menamainya pohon air mata. Karena dari pucuk-pucuk daunnya mampu meneteskan air mata. Yang menyejukkan.
Aku namai dia pohon kerinduan. Karena pohon itulah yang selalu kurindukan setiap kali aku pergi.
Pohon air mata. Kerinduan. Kami.

Langit masih menawan. Jingga. Belum terlalu pekat. Dan pohon air mata mulai berderak menggulung keanggunannya. Piawai memang. Para ranting yang menjulur sepertinya dahaga. Tak kuat harus menghitung detik mundur untuk menanti akar yang menghisap air dari dalam sana. Para ranting mulai gontai. Bukan ke atas justru ke bawah.
Desir daun menambah miris sore ini. Saling bertemu sapa. Bergesekan tanpa arogan. Seorang gadis di bawah sana. Menatap nanar pada pohon air mata. Ada keraguan untuk mendekat. Layaknya terbatas oleh waktu yang kosong. Sekosong otaknya.
Datang seekor kucing. Buruk sekali. Warnanya hitam. Kurus. Bulunya tercabik-cebik ke atas. Mungkin hampir mati. Berjalan terseok walau dengan keempat kakinya. Dia melangkah. Mendekat. Merangkak lebih cepat dari sebelumnya.
“Meeoongg..”
Seperti itu kiranya si gadis meniru suaranya. Gadis menoleh. Jijik. Si kucing berhenti tepat di bawah salah satu ranting yang terjuntai. Menegakkan kepalanya dengan payah. Menganga.
Si gadis masih terkaku diam. Melirik. Jijik. Kucing tetap menganga. Tepat di bawah salah satu ranting yang terjuntai. Menegakkan kepalanya dengan payah.
Daun kembali berdesir. Merinding. Menambah haru kala Gadis sempat terjaga sejenak. Mereka bergerombol bergumam dan terkekeh. Layaknya isyarat dari angin yang berarak merangkai kata. Kucing tak lagi menganga. Kucing melangkah tegak. Aduhay. Rupanya pohon kerinduan telah mengalirkan bulir air matanya. Kucing telah mendapat sejuknya. Tetes-tetes air mata.

***

Aku menikmati lagi sore. Di bawah pohon airmata ini. Di dalam belukar yang indah. Selalu ada banyak hal menarik di sini. Memperdebatkan arti hadirnya cinta. Membiarkan waktu bergulir ke masa dimana kami tak sekecil dulu (lagi). Bersama angin yang terus berhembus lembut. Memanjakan. Hingga larut dalam rangkaian kata. Kami.




Keterangan: Tepat 300 kata tidak termasuk judul dan keterangan.