Cerpen---PRIA Tengah Abad


PRIA Tengah Abad
Oleh: Dian Hendar Pratiwi
Pukul 22.00 WIB. Seorang pria berkacamata plus masih menatap tajam layar komputer di hadapannya. Jika diperhatikan rambutnya mulai nampak memutih alami. Aku ramalkan usianya tak lagi muda. Tak layak dipanggil Mas. Dengan mengenakan sarung dan kaos oblong bergambar identitas salah satu Parpol, pantatnya masih enggan beranjak dari kursi plastik itu.
Wajahnya nampak lelah namun gurat-gurat di dahinya masih menunjukkan ketegasan masa mudanya. Bola matanya lincah berpindah-pindah. Dari layar komputer ke keyboard ke blocknote lalu ke layar komputer lagi ke keyboard lagi dan ke blocknote lagi. Begitu seterusnya. Kakinya bergerak-gerak di luar kendalinya guna menghindari gigitan nyamuk yang membutuhkan makanan dari darahnya yang mulai pahit. Nampak sesekali bibirnya komat-kamit sebelum mantranya dituangkan dalam kalimat.
Nama lengkap Hendrick Jamari. Jenis kelamin laki-laki. Usia 56 tahun. Agama islam. Domisili Semarang. Pekerjaan wartawan. Status berkeluarga dengan dikaruniai seorang anak gadis.
Bersama terang bulan dia tetap hanyut dalam kesibukannya. Agaknya malam larut tak menjadi soal. Tak sedetikpun dia melirik ke jam dinding yang terus berdetak meninggalkan sore. Jemarinya masih terlalu lincah di malam yang semakin dingin. Esok pagi ketikannya harus selesai.
Rokok dipilih menjadi karibnya setiap malam. Rasa kantuknya seolah terbakar hilang bersama berlalunya asap rokoknya. Mungkin rokoklah yang paling mengerti dengan apa yang dikerjakannya. Seperti pada suatu malam, ketika aku mencoba mengajaknya berbincang dari hati ke hati dia justru menyuruhku membelikan rokok dan kembali berkutat dengan kesibukannya ketimbang mendengarkan aku berbicara. Ada rasa cemburu.
Seringkali aku maupun istrinya menasehati untuk menghentikan kebiasaan merokoknya. Satu malam satu bungkus habis dihisapnya. Hingga akhirnya pada suatu masa dia sadar rambutnya mulai memutih. Lalu dia memutuskan untuk menghentikan silaturahminya dengan rokok. Bukan karena nasehat istrinya apalagi aku. Lagi-lagi karena pekerjaannya. Dulu dia merokok sebagai teman kerjanya sekarang dia berhenti merokok demi memperpanjang usia kerjanya.
Awalnya aku tidak mengerti dengan apa saja yang dilakukan seorang wartawan. Setahuku dia selalu ke kantor pagi-pagi lalu pulang disore hari. Selang beberapa jam setelah makan malam bersama keluarganya dia kembali ke teman-temannya; computer-keyboard-blocknote. Pekerjaannya benar-benar menyita waktu
“Autis mungkin.” Kesanku dalam hati saja.
Pernah di suatu siang aku sengaja mengajaknya berkencan ke mall. Walaupun sebenarnya aku tak terlalu berharap ia menyanggupi permintaanku. Aku ingin membeli beberapa pasang baju ketika itu.
“Bisa kan lain hari? Masih banyak yang harus kuketik.” Ujarnya.
“Pengennya hari ini. Mau dipakai besok.”
Ternyata dugaanku memang benar, dia menolakku demi ketikannnya. Bukan lagi cemburu namun juga kesal yang aku rasa. Aku bahkan jadi mengutuk pekerjaannya adalah pekerjaan yang membosankan.
 “Baiklah.” Jawabnya kemudian. Entah karena merasa kasihan padaku atau memang dia juga ingin menyegarkan pikirannya sejenak. Akhirnya kami berdua pergi berboncengan. Dengan tak lupa blocknote dan pulpen –sebagai senjata wajib-.
“Kalau-kalau di jalan nanti ada berita bisa langsung ditulis.” Sederhana ungkapnya.
“Yaelaaahhh…sebegitunya amat sih?” Lagi-lagi hanya dalam hati aku berkomentar. Sudah beruntung dia mau menemaniku menghilangkan penat. Aku harap dia juga akan merasakan hal yang sama denganku. Get refresh!
Sebenarnya aku cukup dekat dan mengenal sosoknya. Namun tak pernah sedikitpun terlintas di benakku untuk menjadi sepertinya. Mengenal pribadinya yang berkarakter keras akupun tahu. Dia orang yang selalu berpikiran lugas. Dia selalu melihat masalah yang dihadapinya dari sudut pandang yang berbeda. Sifatnya inilah yang diam-diam mengharuskanku untuk mengaguminya.
Hanya mengagumi dan tetap sama, aku tidak ingin menjadikannya sosok yang hebat. Aku pikir dia hanya pintar bermain kata-kata dalam memanajemen konflik atau menyulut masalah. Aku sering menyamakan pekerjaannya dengan pekerjaan penyebar gosip. Hanya karena takut tak dapat berita maka digali saja gosip-gosip yang kemungkinan layak untuk disajikan ke publik dan mendapat respon lebih.
“Ini pekerjaan yang menyenangkan buat saya. Saya belajar otodidak dan saya menjalaninya dengan senang hati.” Ujarnya padaku di suatu sore depan rumahnya.
Dia memang mengawali karirnyanya dari bawah. Dia tidak pernah bersekolah jurnalistik sebelumnya. Masa remajanya yang tidak seindah masa remajaku membuatnya memutar otak untuk bagaimana caranya bertahan hidup. Menulis dan mencoba mengirimkan tulisannya dari satu media cetak ke media cetak lainnya. Kegagalan sudah bukan menjadi masalah baginya. Dia selalu mencoba lagi dan lagi hingga akhirnya kartu Pers terjangkau olehnya.
“Entah itu terjadi berapa tahun silam.” Gumamnya memikun.
Lalu aku sendiri? Apa yang aku sibukkan selama ini? Tanpa aku sadari hampir setiap hari aku meluangkan waktu di depan laptop untuk menulis. Di buku-buku kuliahku kalau diteliti banyak coretan kalimat sederhana yang biasanya akan aku kembangkan lagi kalimat per kalimat ketika berhadapan dengan laptop. Lalu kebiasaan Hendrick yang selalu membawa buku kecil dan pulpen kemanapun dia pergi itupun aku lakukan.
“Jalan-jalan ngapain bawa buku? Berasa kuliah aja.” Sindir salah seorang sahabatku ketika kami berencana menghabiskan akhir pekan.
“Kalau nanti di jalan ada inspirasi bisa langsung di tulis.” Jawabku sederhana.
“Aaahh..Lebay lo!”
“Bukan lebay. Tapi memang inspirasi yang paling inspiratif datang ketika kita tidak memaksa mencarinya.” Aku menjawab dengan senyuman. Tanpa kusadari pula aku mulai meniru kebiasaan Hendrick
Kemudian dua tahun silam aku bergabung dengan komunitas jurnalistik di kampusku, yaitu sebuah Lembaga Pers Mahasiswa. Aku hanya ingin memperdalam hobiku. Aku suka menulis. Aku suka menulis apa saja yang ada di otakku. Hingga aku rasa hobiku butuh tempat khusus selain di laptop. Aku butuh berkumpul dan berbagi dengan mereka yang juga berhobi sama. Sekali lagi, hobi lama yang baru aku sadari ternyata mengasikkan.
Mengasikkan? Yaa!
Kini aku mulai sedikit mengerti sapa saja yang dikerjakan seorang wartawan. Jurnalistik yang di dalamnya terdapat kegiatan tulis menulis adalah hal yang paling mengasikkan. Pantas saja kalau dia memang tak pernah jauh-jauh dari blocknote dan komputernya. Kemanapun dia pergi tak lupa mengantongi buku kecil dan pulpen. Menarik!
Tak salah jika seorang Hendrick Jamari enggan meninggalkan tanggungannya. Aku pikir alasannya mengetik tidak semata-mata untuk menghidupi keluarganya. Namun ia berkutat siang dan malam karena memang hobinya itu mengasikkan. Hobi yang kini telah menjadi pekerjaannya. Ternyata aku tak lagi mengagumi sosoknya namun juga meniru kebiasaannya.
“Kapan kamu bisa nulis?” Sindirnya suatu hari.
Aku memang terlambat untuk menyadari kemampuanku. Kemampuanku yang aku dapat juga dari dia. Dari dia yang selama ini ada di sampingku. Dari dia yang selama ini memberiku inspirasi. Dari dia yang terus memberi motivasi tanpa pernah aku sadari sebelumnya. Sindirannya itulah yang lagi-lagi tanpa sadar kujadikan motivator. Kelak suatu hari nanti aku buktikan padanya aku bisa. Aku bisa menulis seperti dia bahkan lebih. Aku tak hanya kagum padanya tapi juga bangga. Aku bangga memanggilmu “PAPA.”
Pukul 22.00 WIB. Seorang pria berkacamata plus masih menatap tajam layar komputer di hadapannya. Jika diperhatikan rambutnya mulai nampak memutih alami. Aku ramalkan usianya tak lagi muda. Tak layak dipanggil Mas. Dengan mengenakan sarung dan kaos oblong bergambar identitas salah satu Parpol, pantatnya masih enggan beranjak dari kursi plastik itu.
Wajahnya nampak lelah namun gurat-gurat di dahinya masih menunjukkan ketegasan masa mudanya. Bola matanya lincah berpindah-pindah. Dari layar komputer ke keyboard ke blocknote lalu ke layar komputer lagi ke keyboard lagi dan ke blocknote lagi. Begitu seterusnya. Kakinya bergerak-gerak di luar kendalinya guna menghindari gigitan nyamuk yang membutuhkan makanan dari darahnya yang mulai pahit. Nampak sesekali bibirnya komat-kamit sebelum mantranya dituangkan dalam kalimat.
Nama lengkap Hendrick Jamari. Jenis kelamin laki-laki. Usia 56 tahun. Agama islam. Domisili Semarang. Pekerjaan wartawan. Status berkeluarga dengan dikaruniai seorang anak gadis bernama Dian Hendar Pratiwi.

1 komentar:

diidii mengatakan...

Satu lagi cerpen yang aku buat untuk event cerpen dengan tema Kisah Inspiratif. jadi ini cerpen based on true story. di sini aku dapet juara 1 juara utama. alhamdulillah banget. apalagi jurinya tu mas Bamby Cahyadi. kyaaa..kyaaa..!!