Cerpen---Secangkir Teh dari Bunda

Secangkir Teh dari Bunda
oleh Dian Hendar Pratiwi

Aku berlari mengubur semua yang telah berlalu. Aku tenggelamkan diriku dari ingatanku. Aku membencimu itu urusanku. Aku tak suka dengan keputusan dan rasa sayangmu padaku itu juga keputusanku. Maafkan aku sebelumnya. Bukan karena aku seorang gadis kecil yang terlalu lemah maka aku melarikan diri. Aku hanya ingin berdiam diri. Benar-benar seorang diri.
Aku tak mau orang lain tahu apa yang baru saja terjadi di dapur kami. Ada seorang mayat wanita dewasa di sana tengah meregang nyawa sendirian. Aku mengecap diriku masih terlalu kecil untuk bisa melakukan yang orang dewasa lakukan. Aku bingung bagaimana cara menolongnya. Diapun hanya diam saja terpejam kaku. Tidak menyuruhku untuk meminta bantuan. Aku panik tertahan, takut dan terisak di sudut dapur sebelum akhirnya aku berlari meninggalkannya.
Bagaimanapun juga aku tak suka kehadiranmu di sini.
Ayah melihat kami sedang menghabiskan pagi bersama di teras belakang. Matahari menjadi begitu hangat ketika kau menggenggam tanganku. Namun entah mengapa kehangatanmu justru memanas. Hingga aku menampik tanganmu. Aku tahu kau nampak kecewa. Namun aku acuh. Yang penting aku masih tetap menemanimu menikmati pagi. Seperti pesan Ayah.
Kau memberiku secangkir teh panas. Sepanas hatimu. Namun menurutmu sepanas prasangkaku padamu. Yaahh..itu hakmu juga. Aku tak melarang.
Aku menerima secangkir teh panas darimu tadi dan aku mulai menyeruputnya perlahan.
“Aww..panas!” Seruku.
“Pelan-pelan nak. Ditiup dulu.”
Aku mematuhinya. Kutiup. Kuminum perlahan dan hati-hati. Sedap. Seperti ada racun di dalamnya. Aku tetap waspada Meskipun aku tahu dia memperhatikanku dengan penuh cinta. Tapi rasa waspadaku jauh lebih tinggi dari rasa tahuku tadi.
Aku seorang gadis yang pendiam. Usiaku 8 tahun. Aku tak suku diperhatikan orang lain namun aku suka mengawasi gerak-gerik orang lain. Salah satunya mengawasi dia. Dia sering menggunakan telepon rumah berlama-lamu untuk ngobrol dengan teman-temannya. Menceritakan masalah suami masing-masing, membicarakan anak tetangga kami yang cacat mental, membicarakan berita perceraian pengacara ternama di televisi, serta membicarakan kehebatan seks suami masing-masing.
Tak pernah sedikitpun dia menyinggungku. Tapi itu lebh baik. Aku memang pernah memperingatkannya untuk tidak usah membicarakanku. Karena memang sebenarnya aku tak suka dia membicarakanku pada teman-teman arisanya. Aku juga tak suka bila aku mendengar dia membicarakan mantan istri Ayahku yang telah terlelap panjang. Bagaimanapun juga dia bukan siapa-siapaku meski Ayah memaksaku memanggilnya Bunda.
“Apa itu ‘Bunda’? Aku hanya mengenal ‘Ibu’.” Gumamku dalam hati saja.
Aku berlari dan terus berlari. Keluar dari dapur melewati ruang tengah tempat biasa kami bertiga berkumpul dan melewati ruang tamu. Terus saja aku berlari meninggalkan rumah. Aku ingin mencari bantuan. Tujuanku adalah kantor Ayah. Walau aku tak tahu dimana kantor Ayah. Aku hanya ketakutan.
Secangkir teh pemberiannya di pagi tadi telah kuhabiskan. Nyatanya aku tak terkapar keracunan. Kutunggu 5 menit, 15 menit hingga setengah jam aku masih baik-baik saja. Bunda tak sejahat yang aku pikir.
Aku suka dengan Cinderella. Aku menggambarkan diriku adalah Cinderella. Gadis yang cantik dan baik hati meski harus tinggal dengan Ibu dan saudara tirinya yang jahat. Kata Ibu, aku harus menjadi Cinderellanya.
“Kau gadis Ibu yang cantik.” Kata Ibuku sambil terbaring lemah di tempat tidurnya.
“Ibu juga cantik.” Sahutku.
“Kalau Ibu pergi kamu nggak boleh nakal yaa..harus nurut sama Ayah.”
“Kemana Ibu pergi? Aku ikut bu.” Rengekku sambil menarik lengan bajunya.
“Iya. Tapi bukan sekarang. Sekarang Ibu dulu yaa..Ibu lihat apakah di sana aman untukmu.” Jawab Ibu dengan wajahnya yang nampak pucat saja meski dia berusaha tersenyum sambil membelai rambutku.
Saat itu aku berusia 6 tahun. Aku tak mengerti apa itu kanker payudara. Aku pernah mendengar obrolan dokter Adi dengan Ayah. Katanya waktu Ibu tak lama. Penyakitnya sudah memasuki stadium akhir karena selama ini dia merahasiakan penyakitnya dari Ayah apalagi dariku. Sungguh aku tak mengerti.
Pagi sudah mulai pergi. Mataharipun mulai merangkak naik menyapa. Sedikit siang tapi belum terlalu siang. Aku ingin segelas es teh dingin kali ini.
“Aku ingin segelas es teh.” Ungkapku pada Bunda di dapur. Kala itu dia tengah membereskan piring bekas kami sarapan bersama sebelum Ayah pergi ke kantor.
“Tapi tadi pagi kamu sudah minum teh hangat bukan?”
“Sekarang tak lagi pagi.”
“Lebih segar kalau kau minum air putih dingin. Bagaimana?”
“Tidak! Aku ingin segelas besar teh dingin.” Aku mulai meninggikan suara.
“Baiklah. Kau tunggu di sini dan aku akan segera menyiapkannya untukmu.” Jawabnya kemudian. Aku diangkatnya dan didudukkan di salah satu kursi meja makan yang ada di hadapan kami. Aku lihat dia mulai mengambil sebuah gelas besar dan mulai membuatkan teh dingin untukku.
Aku memperhatikannya. Dia cantik namun tak secantik Ibuku. Aku sering melihatnya diam-diam seperti ini. Gayanya yang seolah-oleh menggantikan peran Ibuku justru membuatku muak. Pernah suatu ketika aku begitu marah padanya ketika dia menyuapiku saat aku demam. Padahal aku meminta Ayahku yang ada di sampingku. Katanya Ayah masih sibuk dengan urusannya. Kemudian aku menampik sesendok bubur ayam dari sendoknya hingga tumpah mengenai roknya. Aku marah dan menangis. Aku berteriak berkata bahwa aku membencinya. Betul-betul membencinya.
“Aku nggak suka kamu di sini!” Tegasku sesaat setelah dia membersihkan roknya yang kotor dengan tisu.
“Kenapa sayang? aku hanya ingin melihat kau sembuh dan bermain lagi dengan teman-temanmu.” Kata Bunda dengan mengusap kepalaku.
Lagi-lagi aku menghindar.
“Jangan memanggilku sayang! Aku tidak menyayangimu!”
“Tapi aku menyayangimu.”
“Tidak! Kau tak akan pernah bisa menggantikan posisi Ibu!”
“Ibumu tetap Ibumu. Aku mengerti perasaanmu. Aku tidak akan menggantikan posisi Ibumu di hatimu bahkan tidak akan pernah bisa. Aku hanya ingin berbuat yang aku bisa untukmu.”
Kulihat dia mulai meneteskan airmatanya sebelum akhirnya dia pergi dengan meninggalkan semangkuk bubur di meja samping tempat tidurku. Tepat di depan fotoku bersama Ibu.
Segelas teh dingin telah selesai Ia buat. Kemudian dia menyodorkannya padaku. Aku tetap waspada. Tapi selama dia membuatnya tadi sepertinya dia tak memasukkan racun kok. Dia pergi menginggalkanku di dapur. Entah dia mau kemana. Aku tak peduli.
Aku meletakkan gelas di pinggir meja. Aku mengambil brownis coklat kesukaanku. Ini juga bikinannya. Letaknya di ujung meja cukup jauh dari posisi dudukku. Karena meja makan kami memang cukup besar untuk seumuranku. Aku berusaha mengapainya. Namun..
“Pyaaaarrr…”
Segelas teh dinginku jatuh dan pecah. Bunda tergopoh-gopoh berlari menuju dapur dan dia terpeleset tumpahan tehku. Dia jatuh tepat di bawah kaki ku. Serpihan gelas menancap di tangan dan kakinya. Kulihat tangan dan kakinya mulai terluka. Namun kepalanya memegang kepalanya yang terbentur pinggiran meja. Aku mendengar benturan kepalanya tadi. Cukup keras mungkin. Dan dia tidur terpejam.
Aku berlari. Aku takut. Bukan salahku. Tapi di sana hanya ada aku. Ayahpun tahu aku membencinya. Aku juga masih kecil. Aku tak akan bisa mejelaskan peristiwanya di depan Ayah. Apalagi di depan orang-orang berseragam nanti.
Bunda telah bertemu Ibu. Esok aku dan Ayah akan menyusul.
“Maafkan aku yang belum bisa mencintaimu seperti kau mencintaiku. Kalau saja Tuhan memberi waktu walau hanya satu jam saja aku akan menyatakan padamu bahwa aku juga menyayangimu. Terimakasih untuk secangkir teh yang selalu kau bikin tanpa racun padaku.” Batinku sambil mengusap di nisan Bunda di samping nisan Ibu.
Bagaimanapun juga aku pernah membencimu, Bunda.

0 komentar: