Flash Fiction---Pohon Air Mata

Pohon Air Mata  

Oleh Dian Hendar Pratiwi


Aku punya kisah.
Ada diantara belukar itu, temanku menamainya pohon air mata. Karena dari pucuk-pucuk daunnya mampu meneteskan air mata. Yang menyejukkan.
Aku namai dia pohon kerinduan. Karena pohon itulah yang selalu kurindukan setiap kali aku pergi.
Pohon air mata. Kerinduan. Kami.

Langit masih menawan. Jingga. Belum terlalu pekat. Dan pohon air mata mulai berderak menggulung keanggunannya. Piawai memang. Para ranting yang menjulur sepertinya dahaga. Tak kuat harus menghitung detik mundur untuk menanti akar yang menghisap air dari dalam sana. Para ranting mulai gontai. Bukan ke atas justru ke bawah.
Desir daun menambah miris sore ini. Saling bertemu sapa. Bergesekan tanpa arogan. Seorang gadis di bawah sana. Menatap nanar pada pohon air mata. Ada keraguan untuk mendekat. Layaknya terbatas oleh waktu yang kosong. Sekosong otaknya.
Datang seekor kucing. Buruk sekali. Warnanya hitam. Kurus. Bulunya tercabik-cebik ke atas. Mungkin hampir mati. Berjalan terseok walau dengan keempat kakinya. Dia melangkah. Mendekat. Merangkak lebih cepat dari sebelumnya.
“Meeoongg..”
Seperti itu kiranya si gadis meniru suaranya. Gadis menoleh. Jijik. Si kucing berhenti tepat di bawah salah satu ranting yang terjuntai. Menegakkan kepalanya dengan payah. Menganga.
Si gadis masih terkaku diam. Melirik. Jijik. Kucing tetap menganga. Tepat di bawah salah satu ranting yang terjuntai. Menegakkan kepalanya dengan payah.
Daun kembali berdesir. Merinding. Menambah haru kala Gadis sempat terjaga sejenak. Mereka bergerombol bergumam dan terkekeh. Layaknya isyarat dari angin yang berarak merangkai kata. Kucing tak lagi menganga. Kucing melangkah tegak. Aduhay. Rupanya pohon kerinduan telah mengalirkan bulir air matanya. Kucing telah mendapat sejuknya. Tetes-tetes air mata.

***

Aku menikmati lagi sore. Di bawah pohon airmata ini. Di dalam belukar yang indah. Selalu ada banyak hal menarik di sini. Memperdebatkan arti hadirnya cinta. Membiarkan waktu bergulir ke masa dimana kami tak sekecil dulu (lagi). Bersama angin yang terus berhembus lembut. Memanjakan. Hingga larut dalam rangkaian kata. Kami.




Keterangan: Tepat 300 kata tidak termasuk judul dan keterangan.

0 komentar: