Cerpen---Kopi Tumpah

Kopi Tumpah 

oleh Dian Hendar Pratiwi


Aku suka sore. Biasanya aku menghabiskan sore di halaman belakang rumahku. Aku suka memperhatikan sore bersama secangkir kopi. Hangat tidak terlalu panas. Tidak terlalu pahit tidak juga terlalu manis. Pas, sedap dan mantab. Menyenangkan dan menenangkan.
Tapi sore ini agaknya tak seperti sore biasanya. Padahal aku masih seperti biasanya, duduk di bangku kecil di sudut halaman belakang rumahku. Masih pula dengan secangkir kopi yang pas, sedap dan mantab. Sepertinya entah ada hal lain yang aku rasakan. Aku rasa soreku segera berakhir. Seperti secangkir kopi ini yang akan segera habis.
Bagiku sesuatu yang aku pilih adalah pilihan yang tepat. Sesuatu yang aku lakukan adalah perilaku yang benar. Aku yakin bagi mereka apa yang aku pilih adalah pilihan yang tidak tepat. Sesuatu yang aku lakukan adalah perilaku yang tidak benar. Karena menurutku pilihan dan perilaku hanya milik pribadi. Itu sebabnya  mereka menganggapku gila.
Apa yang aku rasakan tak orang lain rasakan. Apa yang aku pikirkan tak dipikirkan orang lain. Sekali lagi karena rasa dan pikiran hanya milik pribadi. Seperti sore ini, hanya milik pribadi. Begitu pula secangkir kopi yang kupegang juga milik pribadi. Milikku.
Kau tahu aku suka kopi. Sejak usiaku belasan tahun aku suka kopi. Kopi paling enak mungkin kopi darimu. Aaahhh..aku hanya berandai-andai. Aku belum pernah merasakan kopi milikmu. Kalau kopiku tumpah, apa pedulimu. Mungkin asisten pribadiku yang akan mengambil lap dan membersihkannya. Bukan kamu.
“Jangan!” seruku kemudian. Karena aku akan menumpahkannya. Sekali lagi ini kopi pribadiku.
“Nanti banyak semut datang mbak.” Ujar asistenku.
“Tinggal kau siapkan makanan untuk mereka.” Jawabku.
 “Mbak ini sudah gila!” Jawabnya dengan ketus sambil berlalu meninggalkanku. Dia bukan siapa-siapaku. Bahkan aku ini anak majikannya namun dia juga menganggapku gila. Keterlaluan!
Asistenku menganggapku gila. Aku pikir asistenku yang gila. Karena dia telah menganggapku gila. Namun nyatanya tidak hanya asistenku yang gila, tetanggaku, orang-orang lain di sana juga gila aku anggap. Mereka menganggapku gila. Padahal mereka yang gila. Aku akan menumpahkan kopiku di pikiran gilanya. Tepat di otaknya. Agar ia tak lagi menganggapku gila.
Aku perhatikan semut-semut mulai berdatangan menghampiri tumpahan kopiku. Mereka mulai menjamah setiap bulu kakiku. Pelan dan mesra. Ada yang datang sendirian dan “Hey! Sini sayang..kamu kehilangan teman-temanmu yaa?” Sahutku sambil berusaha mengarahkan langkahnya ke tumpahan kopiku. Ada pula yang datang bergerombolan dan saling berciuman saat bertemu. Aku perhatikan mereka, mereka begitu ramah satu sama lain. Andaikan semua manusia yang ada di sekelilingku juga demikian adanya pasti hidup ini lebih menawan.
Kopi aku tumpahkan lagi. Semut berdatangan lebih banyak lagi. Apa pedulimu? Tidak ada kan? Toh kopi ini kopi pribadiku. Berapa kali aku bilang ini kopi pribadiku. Ini adalah kopi pribadiku. Ini kopi milik pribadiku dan kopi ini milikku! Aku yakin sekarang kau tengah meminum kopi juga di tengah perjamuan makan kelas Internasional.
Kali ini memang nyatanya berbeda dengan kali itu. Aku tidak menikmati secangkir kopiku bersama sore di halaman belakang rumah. Bahkan aku sendiri tak tahu apa ini pagi, siang, sore atau malam. Aku hanya tahu ruangan ini gelap dan temboknya dingin. Memang ada lampu diatas sana yang terkadang dinyalakan asistenku. Tapi di sini aku lebih suka gelap. Karena ketika gelap aku dapat terus mencurahkan perasaanku. Mengadu pada dinding-dinding yang dingin. Bertanya pada bintang dan menyeka air mata tertahanku dengan kain sarung tipis. Yaa..aku tak mau yang lain terbangun karena raung tangisku.
Di kamar sebelahku tinggal seorang wanita. Wanita muda. Aku tafsir usianya hampir 30an tahun. Dia suka menggendong guling kecil yang dianggap bayinya. Dia suka menyanyikan lagu nina bobo. Sepanjang waktu dia bernyanyi dengan lembut. Ada rasa iri karena aku tak pernah dinyanyikan lagu itu. Dia merawat guling kecilnya dengan penuh cinta. Aku pernah berbincang dengannya. Ketika itu dia sedang menggendong bayi gulingnya di lorong bangsal kami. Namun aku tetap di dalam kamarku. Bagaimanapun juga dia gila. Aku sebagai orang yang normal takut juga jika sewaktu-waktu dia ngamuk.
Dia seorang wanita yang ditinggal pergi kekasihnya tepat di hari pernikahan mereka. Padahal dia tengah mengandung buah cintanya. Katanya kekasihnya itu sekarang sudah menikahi wanita lain. Itu sebabnya dia membenci semua lelaki yang ada di dunia. Termasuk dokter tampan yang merawat kami berdua di sini.
Suatu sore aku mengajaknya meminum kopi. Namun dia menolak mentah-mentah. Bahkan dia memukul tanganku yang menyodorkan kopi kepadanya sehingga kopiku tumpah.
“Aku tidak suka kopi! Suamiku suka kopi!” Begitu katanya berulang sambil menjerit-jerit. Hingga para suster kemudian datang menenangkannya. Lalu aku? Lagi-lagi tak ada yang menghiraukanku. Aku dari balik pagar besi hanya menatap kosong kopiku yang tumpah. Aku perhatikan semut-semut mulai datang satu per satu. Lama-lama berkoloni. Menjijikan! Tak lama asistenku yang gila itu datang sambil tergopoh-gopoh dan membersihkan kopiku yang tumpah. Dia juga membuang cangkirku yang pecah berantakan. Dia tak tahu dari mana kudapatkan cangkir beraksen China itu. Dari Ayahku. Aku sangat mencintainya. Dia juga sangat mencintaiku. Dia tahu aku suka kopi. Cangkir itu dari China untuk aku minum kopi. Satu-satunya benda yang selamat ditemukan ketika kecelakaan pesawat merenggut tawanya. Dia menyimpannya rapat-rapat di dalam tumpukan bajunya. Asistenku berlalu tanpa tahu sejarah itu. Aku hanya diam termangu tanpa melirik kepergiannya. Aku masih memperhatikan tempat sampah di hadapanku, tempat cangkir kopiku dibuang.
Aku tak suka dengan asistenku. Padahal kata Ibuku dia asisten nomoer satu di Rumah Sakit Jiwa ini. Dia dibayar tinggi oleh keluargaku untuk khusus merawat dan menjagaku. Tapi aku suruh untuk membikin kopi saja tak bisa. Berkali-kali kopi sengaja ku tumpahkan karena rasanya tak enak. Padahal katanya itu kopi luwak yang berharga jutaan rupiah. Pernah suatu hari ketika adikku yang berumur 17 tahun mengunjungiku aku menyeruput es kopi yang dibawanya di botol. Rasanya sedap tiada tara. Ketika kutanya dimana Ia membeli Ia jawab Ibu kami yang membikin sebelum ia menengokku tadi.
Aku heran. Siapa sebenarnya yang gila? Asistenku? Adikku? Ibuku? Atau aku? Kalau wanita sebelah kamarku memang dia gila. Semua orang juga tahu itu. aku bandingkan, aku tak pernah menggendong bayi guling seperti dia. Aku tak pernah menangis meraung-raung seperti dia. Aku tak pernah menjerit-jerit seperti dia. Pikiranku waras. aku penya perasaan.a ku sedih kala semua menganggapkau gila. Aku menangis dalam gelap kamarku. Apa hanya karena aku suka menumpahkan kopi aku dianggap gila? Aku hanya ingin kopi buatan Ibuku. Ibu tiriku.

0 komentar: