CERPEN---Kata Orang Tentang Aku

Kata Orang Tentang Aku

oleh Dian Hendar Pratiwi

Aku tersentak dari mimpiku. Dari khayal lugu yang mengajakku menari meninggalkan pertiwi. Membumbung dan meninggalkan segala benang kusut yang lupa aku rajut malam tadi. Sering kali aku mengudara memudarkan wana pelangi. Namun untuk mengecatnya menjadi me-ji-ku-hi-bi-ni-u lagi aku tak mampu. Berat. Susah. Dan enggan. Padahal aku tahu Tuhan pasti akan murka karena keindahan ciptanya rusak. Meski emak sudah memperingatkanku tentang ini. Namun seperti biasa, aku mencela peringatannya.
Kini petang meluntur. Meninggalkan sisa-sisa gelak tawa yang terbuai indah nafsu semalam. Kata emak, pagi selalu semangat dengan udara cemara musim semi. Burung-burung gereja pun bergerombol menciptakan gelak tawa merdu. Ternyata pagi tak selembut cerita Emak. Langit enggan membiru. Sang naga yang biasanya menyemburkan badai api malah nampak merunduk pilu. Mungkin kehabisan cadangan energinya.
Mendung. Aku semakin terbuai. Enggan beranjak dari peraduan. Masih ku meniti ranjang bercak darah semalam. Berkecimpung dalam bayang gagahnya. Menghitung helai demi helai rambutku yang dijambaknya dengan birahi. Menghirup dalam-dalam sisa wewangian yang masih menempel di sekujur tubuhku. Kugantikan perih yang kurasa dengan cinta. Pagi ini berbeda. Aku masih terhantui sosoknya. Aku masih mengingat detail kala dirinya menjamah setiap inci bagian tubuhku.
Kejadian semalam membuatku bergidik ngeri. Ini bukan pekerjaan pertamaku. Selama aku bekerja tak semua lelaki aku ijinkan untuk menjamahku. Walau aku membutuhkan harta mereka aku tetap memilih lelaki mana yang berhak mencumbuku. Dia harus berbadan bersih dan wangi, tidak berambut gondrong, berkuku bersih dan tidak panjang karena itu bisa menyakitiku nanti, serta bersedia memberiku uang sesuai yang kuminta.
Aku paling suka melayani lelaki tambun. Karena dari postur tubuhnya aku bisa mengira dompetnya pun setambun badannya. Meski ketika melayaninya aku akan kewalahan dan sesak napas dibuatnya. Tapi itu resiko. Demi melunasi mimpi orang tuaku.
Tamuku kali ini adalah seorang yang ku kenal. Wajahnya oriental. Postur tubuhnya masih tinggi seperti dulu pertama kali aku mengenalnya. Kulitnya putih tanpa sisik. Wangi dan ketika menjamah tubuhku kutahu kuku-kuku jarinya terpotong bersih.
“Dena?” tanyanya setengah tak percaya bahwa akulah wanita yang disewanya untuk malam ini. Kudengar dari temanku, dia biasa kemari bersama rekan-rekan bisnisnya hampir tiap akhir pekan. Entah sekedar untuk mabuk-mabukkan, berjudi atau nge-seks. Seperti malam ini, jatahku untuk melayaninya.
“Johan?” aku tercengang dengan tamuku kali ini. Johan Anggara, pacarku ketika di kampung dulu. Bukan! Bukan pacar. Kami tak pernah mengikrarkan tanggal jadian kami. Tidak ada ikatan bermakna. Hanya saja kami dekat. Cukup dekat. Hingga menjadi sangat dekat sebelum akhirnya Johan menggagahiku.
Aku sebenarnya tak terlalu kaget dengan keberadaannya di kantorku. Sejak SMA dia memang sudah tak perjaka. Dia seorang pecandu. Hyperseks. Lagipula wanita mana yang menolak ditidurinya, dia tampan, putih, dan anak pejabat kampung. Ayahnya dulu seorang kepala desa di kampungku. Sawahnya terhampar luas dan orang tuaku bekerja di salah satu lahannya.
“Aku akan mengawinimu.” itulah selalu yang diucapkannya sebelum bercinta dengan banyak gadis di kampungku. Bahkan janda kampung di embat juga. Padaku pun dia pernah berkata begitu.
 “Kau bekerja di sini?” tanyanya sambil melirikku dari ujung rambutku hingga ujung sepatu high heels merah meronaku.
Aku mengangguk saja.
“Untuk apa?” tanyanya sambil merapat padaku.
“Untuk uang.”
“Kenapa harus seperti ini?
“Karena aku anak yang berbakti.”
“Maksudmu?”
Aku tersenyum dan  mendorongnya ke ranjang beralas warna merah muda. Aku mulai menciuminya. Bukan nafsu tapi cinta dan benci. Cinta yang tumbuh jauh sebelum aku mau bergumul dengannya dulu. Sebelum aku mengerti bahwa keluarga, cinta, harta dan harga diri itu harus ada yang dikorbankan salah satunya.
Itu semua yang perlahan membuatku benci terhadapnya. Benci karena aku tak bisa mencintainya dengan utuh. Benci karena perbedaan kasta di dalam keluarga kami. Dan benci karena orang tuaku harus menggarap sawah milik orang tuanya.
Kisah tempo lalu terus merajai otakku. Bagaimanapun juga aku pernah bersetubuh dengannya penuh cinta. Dan aku menikmatinya. Dengan kelembutannya dia menciumiku perlahan. Sedetik kemudian aku terangsang. Seperti tersengat listrik yang melambat namun pasti alirannya. Dia bahkan belum menyentuhku. Begitu kuat rindu yang terbayang akan kenangan.
Kini ada rasa rindu yang membuncah. Rindu yang tak lama lagi akan segera terbayar. Kenangan yang satu per satu muncul kembali dengan gamblang tanpa perintah. Berlomba saling mendahului mana yang paling cepat sampai di benak. Apakah kenangan kala pertama kali dia mendekatiku di lapangan dekat balai desa? Atau kenangan ketika aku bertandak ke rumahnya yang sepi dan dia mulai berani memelukku dan mencium keningku?
“Aaahh..aku ingin segera mengoralnya.” ungkapku dalam hati. Sungguh hanya dalam hati saja dan sangat perlahan.
Aku melepas dosa. Aku menanggalkan Tuhan. Aku melepas rindu yang menggebu dengan cinta. Benar-benar dengan cinta. Aku membebaskankan nafsuku tanpa urat. Kali ini aku akan orgasme dengan puas. Tuhan pasti akan mengerti. Jika tiap malam aku berdosa kali ini pasti tidak. Karena aku bergumul dengan cinta. bukan hanya berharap materi.
Kami semakin larut dengan erangan kami. Kadang aku mencakar punggungnya. Dia merintih. Entah nikmat atau perih karena cakaranku meninggalkan luka yang bertetes peluh nafsunya. Ranjanag berderit menambah semarak ruang temaram kelambu.
“Dengar suara adzan nduk. Sholat-lah dulu.” samar aku mendengar perintah emak selalu setiap adzan subuh berkumandang. Tapi tak kuhiraukan bayangan emak. Aku masih harus menyelesaikan beberapa ronde lagi. Bayangan emak kembali muncul. Datang dan mengetuk pintu, mengintipku dari balik daun pintu reyot.
“Sampaikan salamku pada Tuhanmu mak, Assalamualaikum!” teriakku ditengah eranganku.

***

Pagi yang tadi cemberut hingga siang yang tetap meredup kini telah berganti sore yang manja bergelayut enggan turun. Nampak gelagat Sang Dalang mulai bimbang. Aku duduk di beranda rumah susunku dengan secangkir teh. Mengitari pinggiran bibir cangkir dengan telunjuk lentikku bercat merah.
Kata orang aku pelacur. Kata orang aku wanita malam yang nakal. Kata orang pekerjaanku haram. Kata orang aku pendosa berat. Kata orang akulah yang pertama kali akan masuk neraka Jahanam. Kata orang aku perusak rumah tangga orang lain.
Aku memang pelacur. Aku memang wanita malam yang nakal. Pekerjaanku memang haram tapi bukankah sekarang pekerjaan haram sedang menjadi tren? Seperti mencuri uang yang bukan haknya. Aku memang berdosa tapi darimana kalian tahu akulah orang petama yang akan masuk neraka Jahanam. Apa kalian tahu rumus perhitungan dosa dan pahala? Apalagi perusak rumah tangga orang, suami-suami kalianlah yang menghampiriku dan mengumbar uangnya untukku. Banyak diantara lelaki yang datang padaku mengaku tak puas bergumul dengan para istri yang sehari-hari hanya bisa arisan berlian tanpa tahu bagaimana cara memuaskan suaminya.
Sore meredup. Adzan berderu menyuarakan perintah Tuhan. Aku segera membuang ampas teh yang tersisa di cangkir. Mencuci gelasnya dan meletekannnya kembali di atas rak kayu. Aku bergegas mengambil tas jinjingku. Hari ini aku akan meninggalkan Ibukota. Pulang ke kampung halaman melepas rindu. Serta melepas keberangkatan emak dan abah yang akan naik haji esok pagi.

0 komentar: