Cerpen---Sebuah Surat Cinta

Sebuah Surat Cinta
Oleh Dian Hendar Pratiwi

Malu aku malu pada semut merah yang berbaris di dinding. Menatap curiga. Seakan penuh tanya. Sedang apa di sini? Menanti pacar jawabku.

Tidak ada yang istimewa dari bangunan ini. Sebuah kantin sekolah biasa dengan luas dua kali luas ruang kelas pada umumnya. Dua buah pintu yang kokoh menjulang berdiri di kedua sudut bangunan. Cahaya memaksa masuk merembes lewat celah-celah teralis jendela yang mulai nampak menua termakan usia. Debu berhamburan mengapung di udara samar-samar. Sementara angin mulai mengisik. Tak ada musik. Namun berisik. Kumandang dari lonceng yang diderukan pita suara setiap orang yang berkerumun di sini.
Aku duduk di sudut. Sengaja menyendiri padahal tak sendiri. Resah dan gelisah menunggu. Di meja sebelahku nampak riuh para siswa perempuan membicarakan guru bahasa Indonesia kami yang baru---yang muda dan yang tampan. Di sebelahnya lagi ada seorang siswa laki-laki kurus berkacamata duduk sendiri, sama denganku, sedang mengerjakan sesuatu entah apa. Di meja depanku ada seorang gadis dengan rambut ikal sebahu. Dia tidak bisa diam. Dia seperti duduk di atas kursi panas. Berulang kali merubah letak pantatnya. Berulang kali memeriksa jam di tangannya. Juga berulang kali melirik di handphonenya yang tidak kunjung berbunyi. Dan berulang kali pula matanya awas memandang berkeliling. Apakah dia sedang menunggu seseorang? Temannya? Atau kekasihnya? Seperti aku yang sedang menunggu seseorang. Bukan teman. Bukan pula kekasih. Hanya seseorang yang termanis dan terlucu.

Aku memesan minum. Kali ini segelas es jeruk.
Sembilan lewat tujuh. Teman-temannya datang. Seperti biasa, bergerombolan. Terdiri dari lima gadis cantik dengan rambut yang rata-rata sebahu. Datang dan saling tertawa entah apa yang lucu. Dia berjalan paling belakang. Sendirian tapi tak berselang jauh dari teman-temannya. Rambutnya terurai. Dengan bando polos warna biru laut kali ini, kontras dengan rok SMAnya. Poninya dibiarkan terurai menyamping. Hingga terkadang menjadi sedikit menghalangi pandangannya. Lalu dikibaskan. Lucu.
Hari ini kuputuskan untuk mengutarakan semuannya kepadanya. Segala perasaan yang selama ini kutahan namun akhirnya tak kuasa. Benih-benih cinta yang aku rasakan ini, seperti kelinci yang selalu ingin melompat dari kandangnya. Jadi sekuat apapun kutahan akhirnya jebol juga.
Melalui surat akan kutuangkan segalanya.

Untuk kamu yang lucu, Amorra..
Aku tahu saat ini kamu pasti sedang mengeryitkan kedua alis hitammu ke tengah. Lalu kamu akan mulai melirik ke kiri dan ke kanan. Mendongak ke depan lalu ke belakang. Memaksa bola matamu untuk berputar mengelilingi ruangan ini. Menatap satu per satu siswa laki-laki dengan tatapan tajammu. Memastikan siapa gerangan yang menulis surat ini.
Saat itulah hatiku sedang berdebar. Berdebar menanti reaksimu selanjutnya. Sah saja bila akhirnya kamu acuh dengan surat yang aku tulis ini. Namun setidaknya sebelum kamu meremasnya lalu membuangnya, kamu harus tahu apa yang ingin aku ceritakan padamu melalui surat ini.
Sebenarnya aku sudah lama memperhatikanmu. Saat jam istirahat sekolah adalah waktu yang paling ku nanti. Karena saat itu aku akan menantikan kehadiranmu di kantin ini. Aku memperhatikan detail tentang kamu. Seperti caramu berseragam rapid an mengenakan sepatu converse hitam dengan tali putih menjerat. Serta bando yang kau kenakan di atas rambut panjangmu sering kali berganti-ganti warna dan motif.
Kamu manis dan lucu. Itulah kesan pertama yang aku tangkap saat pertama kali aku bertemu denganmu. Ketika itu, di kantin ini, kita sedang sama-sama memesan gado-gado dan es teh di tempat Bu Ratmi. Kamu sibuk berjubel dengan siswa lain jadi mungkin kamu tidak memperhatikan aku yang sedari tadi memperhatikanmu. Tersenyum lucu jika aku ingat ekspresi tak mau kalahmu.
Sejak itu aku mulai memperhatikanmu diam-diam. Aku mulai mencari tahu tentangmu. Kamu ternyata tak sekedar manis dan lucu tapi juga periang dan penyayang binatang. Kamu sering mengajak jalan-jalan Molly, kucing betinamu, mengitari kompleks rumahmu setiap sore. Aku juga punya kucing jantan yang bernama Giga. Bagaimana kalau kita jodohkan saja keduanya? Kau setuju dengan ideku?
Aku juga hapal hampir semua polahmu yang mungkin tidak kamu sadari. Kamu suka memainkan ujung rambut panjangmu. Mengibaskan ponimu dan terkekeh bersama teman-temanmu. Aaiiihhh..lucunya kamu saat tertawa itu. Membuat aku semakin enggan untuk beranjak dari tempat dudukku. Saat kamu menyibakkan rambut panjangmu saat itulah aku kira jantungku semakin berdebar. Apalagi saat kau datang dan berjalan melewati tempat dudukku, aku semakin berat mendongakkan kepalaku untuk sekedar bertemu tatap denganmu.
Pernah suatu hari kamu bermaksud mengambil kecap soto yang ada di depanku.
“Kecapnya aku ambil yaa mas,” ujarmu sambil meraih botol kecap dengan cekatan. Tak ketinggalan senyummu yang ramah.
“Oh, iya,” timpalku dengan gugup saat itu.
Itulah pertama kalinya aku melihat senyum manismu untukku. Meski tak lama. Tak lebih dari tiga detik mungkin. Tapi tak apa. Aku senang. Terimakasih untuk tiga detiknya ya.
Bagaimana? Apa kamu penasaran denganku? Kalau kamu penasaran denganku. Aku kira mudah saja kamu menebakku. Aku sering duduk di sudut kantin ini. Memperhatikan kamu dari kejauhan. Aku salah seorang siswa laki-laki berkacamata. Seragamku selalu rapi. Karena aku tahu kamu tidak suka dengan orang yang berantakan.
Ini sungguh aneh tapi nyata. Tak akan pernah aku lupakan. Kisah kasih di sekolah dengan kamu. Memang tiada masa paling indah selain masa-masa di sekolah dan tiada kisah paling indah selain kisah kasih di sekolah.

Sekian dulu ya surat dari aku.
Dari seorang yang berinisial “D”



0 komentar: