Suatu Hari Ada Kau dan Aku

Suatu Hari Ada Kau dan Aku
Oleh Dian Hendar Pratiwi

“Jika suatu saat nanti pohon yang kutanam ini tumbuh subur dengan hasil buahnya yang bergelantungan maka kupastikan hari itu kau akan pulang dengan title sarjana. Karena kata penjualnya, waktu panen kelengkeng ini selama 4 tahun. Tepat saat pertama kali kau menjadi siswa yang maha,” ujarnya.

Kami suka menghabiskan Minggu di teras rumah. Mendengarkan musik dan bernyanyi kecil bersama. Kami juga sering sambil membaca majalah-majalah lawas.
“Aaahh..aku bosan. Ini udah baca!” seruku.
“Apa sudah kamu baca semuanya?” tanyanya.
Aku menggeleng dan dia selalu punya cara untuk mencairkan suasana bosan yang baru saja kuciptakan. Kemudian kami beralih memperhatikan pakaian para model dimajalah yang kami baca. Mendesainnya ulang ala kami. Hingga sering kali terwujudlah coretan-coretan desain baju ala kami tadi menjadi baju yang aku kenakan atau ia kenakan.
Matahari mulai menggeliat saat kami akhirnya memutuskan untuk makan siang di teras rumah. Memang terbesit perasaan nggak sopan. Hanya saja kami ingin santai di Minggu siang ini. Berdua. Hingga malam menjelang saatnya kami berbagi cerita tentang kehidupan kami. Tentang persoalan kami.

Di mataku kamu adalah sosok yang cantik. Begitupun katamu suatu hari. Namun aku selalu ingin lebih dari kamu.
“Hey. Aku lebih cantik!” seruku.
“Enak aja. Aku lebih cantik dong,” katamu tak mau kalah.
“Aku !”
“Aku cantik tapi kamu lebih manis dan pintar bergaul. Jadi kamu lebih menarik.”
Satu lagi, kamu selalu memujiku.
Kami juga sering bersenandung berdua. Aku sibuk mencari lirik lagu “Killing Me Softly” dan kamu sibuk mencari lagu “Takut-Vierra.” Aku menggemari duniamu dan kamu menggemari duniaku.
Kamu melarangku makan gorengan banyak-banyak. Aku pun begitu. Padahal kami sama-sama tahu, itu makanan kesukaan kami hampir di setiap malam.
Suatu hari aku minta uang padamu untuk ke salon sekedar creambath dan cuci muka. Esoknya kamu memberi rambutku dengan lidah buaya yang kamu petik sendiri dan memberi mukaku masker dengan tanganmu sendiri. Hingga kemudian kamu memberiku uang untuk ke salon tapi aku menolak, “Tangannya mbak salon nggak seperti kamu,” gumamku dalam hati.
Tiap malam sebelum tidur adalah saat yang paling indah. Kamu selalu bercerita tentang harimu. Lalu kamu akan bertanya, “Bagaimana dengan harimu?” Dengan lugas aku ceritakan apa yang terjadi seharian, tentang teman, kekasih, tante, dosen, kuliahku, organisasiku, sampe pengamen siang tadi yang berwajah tampan dan bersuara cukup merdu.
Kamu selalu meresponku dengan sangat baik sampai pada akhirnya aku merasa seperti orang gila yang bicara sendiri karena tanpa sepengetahuanku kamu mulai terjaga. Tapi aku tak kesal. Yaa..aku tahu di waktu senjamu harimu lebih melelahkan daripada hariku.
Saat pertama aku les berenang kamu berkata, “Jangan takut.” Kamu tahu raut mukaku menunjukkan keraguan. Padahal kamu sendiri tidak bisa berenang. Tapi kamu sibuk berteriak di pinggir lapangan, “Ayo tinggal bolak balik sana-sini gampang kan? Nggak usah takut.” Lalu dalam pertemuan ke-3 di minggu ke-3 aku memamerkan renang gaya katakku padamu. Kamu tersenyum sambil kerepotan membawa tas berisi baju ganti dan segala keperluan berenangku. Kau nampak bahagia. Walau dibalik senyummu kamu berteriak “Hati-hati!”
Saat aku di rumah, tiba-tiba dari kantor kamu meneleponku di jam 12 siang untuk mengingatkanku sholat.
“Aku mau main,” ujarku.
“Siapa yang ngasih kamu uang buat main sana sini? Aku cuma perantara,” jawabmu dari seberangsana.
Suatu hari aku pulang dengan muka masam. Aku diam. Aku lelah. Aku marah. Aku membanting pintu kamar dan menguncinya. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Kamu tidak berteriak “Berisik!” Kamu tidak juga segera menghampiriku. Bukan karena tak peduli. Tapi karena kamu memberiku waktu untuk berdiskusi dengan alam pikiranku.
Lalu kemudian kamu akan datang
“Hhmmm..rambutmu kelihatan lebih bagus sekarang setelah aku kasih lidah buaya yaa,” tegurnya ringan.
“Iya,” jawabku singkat sambil berusaha mengalihkan emosi tapi kamu tahu.
“Bagaimana harimu ?”
“Biasa aja.”
“Kenapa ?”
“Sebel”
“Kenapa sebel-sebel segala ?”
“Lagi nggak enak aja suasananya.”
“Halah..nggak usah dipikir berat. Serahin sama yang di atas. Minta petunjuk. Pasti beres.”
Lakumu selalu merujuk untu menjadikan aku yang nomer satu begitupun aku. Kamu adalah nomer satu. Kamu terindah. Kamu penyemangat. Kamu adalah cerita yang tak pernah habis untuk diceritakan. Kamu adalah mama..
7 November 2011, pagi hari selepas sholat subuh.
“Hallo,” serumu di ujung telepon.
“Hallo. Selamat ulang tahun, ma”
“Oiyaa..aku malah lupa. Terimakasih yaa nduk.”----Mamaku menua.

0 komentar: