Sebuah Surat Cinta
Oleh Dian Hendar Pratiwi
Malu aku malu pada semut merah yang berbaris di dinding. Menatap curiga. Seakan penuh tanya. Sedang apa di sini? Menanti pacar jawabku.
Tidak ada yang istimewa dari bangunan ini. Sebuah kantin sekolah biasa dengan luas dua kali luas ruang kelas pada umumnya. Dua buah pintu yang kokoh menjulang berdiri di kedua sudut bangunan. Cahaya memaksa masuk merembes lewat celah-celah teralis jendela yang mulai nampak menua termakan usia. Debu berhamburan mengapung di udara samar-samar. Sementara angin mulai mengisik. Tak ada musik. Namun berisik. Kumandang dari lonceng yang diderukan pita suara setiap orang yang berkerumun di sini.
Aku duduk di sudut. Sengaja menyendiri padahal tak sendiri. Resah dan gelisah menunggu. Di meja sebelahku nampak riuh para siswa perempuan membicarakan guru bahasa Indonesia kami yang baru---yang muda dan yang tampan. Di sebelahnya lagi ada seorang siswa laki-laki kurus berkacamata duduk sendiri, sama denganku, sedang mengerjakan sesuatu entah apa. Di meja depanku ada seorang gadis dengan rambut ikal sebahu. Dia tidak bisa diam. Dia seperti duduk di atas kursi panas. Berulang kali merubah letak pantatnya. Berulang kali memeriksa jam di tangannya. Juga berulang kali melirik di handphonenya yang tidak kunjung berbunyi. Dan berulang kali pula matanya awas memandang berkeliling. Apakah dia sedang menunggu seseorang? Temannya? Atau kekasihnya? Seperti aku yang sedang menunggu seseorang. Bukan teman. Bukan pula kekasih. Hanya seseorang yang termanis dan terlucu.