0 komentar

Bicara


Bukan saatnya saya bicara
Bukan karena saya takut
Bukan karena saya menghindar
Tapi memang bukan saatnya saya bicara sekarang
Saya merasa jika saya bicara sekarang semua akan percuma
Saya akan dinilai bohong
Saya akan tetap dinilai sebagai pihak yang salah
Saya akan dinilai terlalu mudah menyerah
Dan saya akan menjadi saya yang selalu tertuduh
Ini bukan saatnya saya bicara

0 komentar

Dongeng Sebelum Tidur


Lalu saya putuskan untuk melangkah
Memasuki ruang yang belum saya coba sebelumnya
Meninggalkan realita yang selalu membuat saya merasa tenang
Tapi kali ini tidak
Karena langkah saya terus meninggalkan ia yang ada di belakang
Tatapan saya lurus ke depan
Lalu ada pada suatu ketika saya merasa perlu kembali
Kembali pada ia yang telah lama saya tinggalkan tadi
Mungkin mengambil bekal yang tertinggal
Saya merasa jauh dari sana
Saya merasa begitu lelah di sini
Saya butuh istirahat
Tapi itu justru akan membuang waktu saya
Saya harus segera sampai tujuan di depan sana
Meski saya sakit. Saya lelah. Saya bosan. Saya marah. Saya terjatuh. Saya menangis. Saya kecewa dan saya terluka.

0 komentar

Misterius


Lalu pada suatu hari langkah saya terhenti di depan sebuah gerbang yang tak saya inginkan. Bahkan membayangkannya pun saya tak pernah. Namun saya tetap harus melangkah. Tak ada pilihan.
Seiring dengan langkah ini, kemudian saya tersadar. Bahwa saya bisa berencana. Tapi Tuhan lebih berhak berencana. Dan rencana Tuhan terkadang begitu misterius bagi saya.
Ketika menulis catatan ini saya teringat doa yang saya ucapkan malam kemarin. Benar-benar baru kemarin. Saya berdoa agar Tuhan tidak melupakan saya. Agar Tuhan tetap menggandeng tangan saya ketika saya melewati jalan apapun.
Saya sadari memang sering kali saya berpikir tentang masa lalu dan masa sekarang. Jarang saya berpikir tentang masa depan. Mungkin itu yang seharusnya saya lakukan. Setidaknya semacam persiapan untuk menerima rencana Tuhan.

0 komentar

TALI


TALI
Oleh: @diianhp


Bayangkan bila kamu ada di sebuah gedung. Sebuah gedung yang megah berbentuk setengah lingkaran. Dindingnya berwarna putih tanpa hiasan atau lukisan dinding. Polos saja. Lantainya beralas ubin berukuran 30x30 cm juga berwarna putih. Tidak ada jendela. Tapi ada satu pintu yang besar yang terdapat di salah satu sudut ruangan ini. Pintunya bercat putih pula. Semua serba putih. Bersih.
Di dalamnya tidak hanya kamu. Namun ada banyak orang yang kamu kenal rupanya tapi asing bagimu. Mereka saling bercengkrama. Kadang juga tertawa. Lalu ada saatnya kamu menyapa mereka. Mereka balas menyapamu. Tapi tunggu dulu, tatapan mereka padamu tidak bersahabat lebih terkesan sinis dan dingin.
Kamu lalu terdiam. Tapi otak, hati dan perasaanmu tidak diam. Kamu terus berpikir apa yang salah dengan diri kamu juga dari diri mereka. Hatimu berkata benar. Tapi perkataan sering berbanding terbalik dengan kata hati. Nyatanya mereka yang benar, kamu tidak. Perasaanmu begitu lembut tapi menurut mereka perasaanmu seperti batu.
Telingamu juga selalu mendengar. Dalam diam kamu tetap mendengar. Kamu mendengar mereka bicara tentang sejuknya udara di luar gedung putih ini. Mereka bilang matahari di luar begitu hangat. Mereka bilang malam selalu terang meski langit tampak hitam pekat. Mereka bilang titik-titik cahaya di langit itu bukan kunang-kunang yang sedang menempel di langit. Namun itu bintang. Mereka bilang bulan di luar berwarna kuning. Kuning mengambang bukan di kali tapi di hamparan angkasa atas sana.
Mereka bilang dunia yang seutuhnya dunia ada di luar gedung ini.
Kemudian kamu perhatikan orang yang bertubuh paling tinggi di dalam gedung ini mulai berdiri. Tangannya menjulur ke atas. Menggapai tali yang bergelantungan dari atas langit. Maksudku lngit-langit gedung ini. Entah darimana asalnya. Namun setelah orang paling tinggi itu sampai di atas, Ia bisa keluar dari gedung pengap ini.
Kata salah satu dari mereka itu tali dari Tuhan mereka. Berkat doa mereka selama ini. Berkat keinginan mereka yang begitu kuat untuk keluar dari gedung ini.
Mulanya hanya satu yang mencoba keluar dengan memanjat tali itu.
Lalu dua.
Lalu tiga, empat.
Lima, enam, tujuh, delapan.
Terus bertambah hingga lebih dari sepuluh.
Ya. Lebih dari sepuluh orang bertubuh tinggi mencoba keluar dari gedung ini. Tak lama kemudian disusul orang yang bertubuh tak terlalu tinggi. Mereka terus bersusah payah kadang juga berebut satu dengan yang lain.
Naik. Jatuh. Naik lagi. Jatuh lagi. Dan naik lagi. Namun tak jatuh lagi.
Beberapa saat kemudian kamu merasa gedung ini tampak begitu luas juga tak terlalu pengap. Setelah orang-orang tinggi dan yang tak terlalu tinggi telah memanjat tali dan keluar.
Kini kamu mulai ikut berdiri. Mengukur tinggi tubuhmu. Tak juga pendek rupanya. Terbilang tinggi malah. Bukan! Cukup tinggi. Namun mengapa tak segera berebut tali juga dengan yang lain? Memanjat keluar dan merasakan dunia yang seutuhnya dunia seperti kata temanmu. Ikut merasakan bukan hanya mendengarkan.


Dari tempatmu berdiri, kamu masih melihat tali itu menggantung.