Ada
Apa Dengan SGA?
Oleh: Dian Hendar Pratiwi
Beberapa
minggu yang lalu santer terdengar kabar penolakan penghargaan Bakrie Award oleh
Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma yang kemudian akan saya singkat
sebagai SGA ini merupakan salah satu penulis yang saya “pandang”. Dia seorang
jurnalis yang piawai menulis cerpen, puisi dan esai. Memang belum banyak
tulisannya yang saya baca. Tapi dari sedikit itu saja sudah menimbulkan
kecintaan saya pada karakter tulisannya yang sarat dengan kritik sosial.
Bila
selama ini saya mengetahui semacam tagline “Bila mulutmu dibungkam tajamkan
penamu,” namun dari dia saya juga mengenal tagline “Ketika jurnalisme
dibungkam, sastra harus bicara.” Tagline ini sebenarnya saya ambil dari judul
esainya.
Lalu
beberapa minggu lalu saya terusik dengan berita yang beredar. Saya membaca di
beberapa media on-line ketika itu. Penasaran dengan apa yang terjadi, saya
menelusuri blog pribadi SGA. Di sana secara resmi dia menyatakan menolak
pemberian penghargaan itu dengan alasan penghargaan itu lebih layak diberikan
pada orang lain.
Ini link pernyataan sikapnya:
Saya
mengenal tulisan SGA begitu berani, lugas dan tegas. Namun kali ini saya tidak
mendapatkan itu. Pernyataan sikap yang ditulis di blog pribadinya membuat saya
berpikir apakah itu hanya alasan yang dibuat-buatnya saja?
Menilik
ke belakang, beberapa jurnalis dan sastrawan juga pernah melakukan aksi serupa. Sitor Situmorang pada tahun 2010 pernah menolak penghargaan bidang
sastra Bakrie Award. Beberapa tahun sebelumnya, Franz Magnis-Suseno, seorang yang
dikenal sebagai pastor dan filsuf yang pernah menerbitkan beberapa buku juga
menolak Bakrie Award 2007.
Tak
hanya itu mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef juga menolak anugerah Bakrie
Award. Daoed Joesoef mendapat anugerah Bakrie Award bidang pemikiran sosial. Kemudian
secara mengejutkan di tahun yang sama, 2010, budayawan yang juga tokoh pers
Goenawan Mohamad mengembalikan penghargaan Bakrie Award yang sebelumnya diterima
Gunawan pada 2004.
Para
tokoh tersebut menolak atau mengembalikan penghargaan Bakrie Award dengan
alasan yang jelas. Mereka ini merasa Bakrie perlu menuntaskan kasus terkait PT.
Lapindo. Seperti yang diungkapkan Romo Franz, beliau menolak karena keluarga
Bakrie merupakan pemilik mayoritas PT Lapindo Brantas yang sedang bermasalah
dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo. (itoday.co.id)
Saya
berharap SGA juga berstatement demikian. Setidaknya menjawab pertanyaan publik
–seperti saya- yang bermunculan. Jangan-jangan SGA hanya melakukan aksi
solidaritas saja, karena teman sastrawan lainnya pernah melakukan hal yang serupa.