Menulislah dari hatimu..
Menulislah apa saja yang dapat
kau lihat, dengar dan rasakan..
(dHp)
Bagi saya, menulis adalah cara
termudah untuk menggambarkan pikiran, perasaan dan tanda tanya. Dulu, ketika SD
saya memaknai menulis sebatas curhat di buku diary. Saya memang suka curhat. Tapi
lebih dari itu, saya suka menuliskan curhatan saya di sebuah buku kecil dan
selalu saya simpan dalam laci meja belajar saya. Saya ingat, hampir tiap hari
minimal sekali saya menulis di buku diary itu. Saya biasa menulis buku diary
saat malam tepat sebelum saya tidur. Saya menulis apa yang saya kerjakan
seharian itu. Bagaimana guru-guru saya di sekolah, teman sepermainan, kadang
kejengkelan saya dengan orang tua, dan kadang pula tentang pria yang pernah
saya sukai di jaman itu. Yaa.. kelas 5 SD adalah pertama kalinya saya suka
memperhatikan lawan jenis saya. Dia senior saya, Aprilian namanya. Sekarang dia
dimana yaa?? Hehe..
Selain menulis saya juga suka
membaca. Saya langganan majalah Bobo ketika itu. Saya lupa dulu Bobo terbit
bulanan atau mingguan ya? Kalau nggak salah, terbit mingguan, tiap hari Kamis. Yang
jelas saya ingat, saya selalu menunggu Mas Pengantar Majalah ini di depan pagar
rumah. Lalu halaman pertama yang akan saya baca adalah Cerita Nirmala Dari
Negeri Dongeng lalu Bona dan Rong-Rong. Dulu saya selalu terkesima dengan 2
kisah itu. Mungkin kalau sekarang saya bisa mendeskripsikan keduanya adalah
kisah yang sederhana dengan visualisasi yang mudah terekam dalam benak
anak-anak. Hhmmm..ada yang masih ingat dengan kisah-kisah mereka?
Sekarang, saya semakin tahu bahwa
menulis tidak sebatas buku diary dan membaca tidak sebatas bacaan sederhana dengan
visualisasi yang menarik. Rasa penasaran saya muncul ketika saya dihadapkan
dengan sesuatu. Kadang lebih dari itu, berawal dari emosi yang ingin saya
luapkan dengan cara saya, yaitu lewat tulisan
Mudahnya begini, saya menulis tentang
segalanya yang saya mau tulis. Saya ingin menulis berita yaa saya cari data
kemudian saya tulis. Saya ingin beropini yaa saya kumpulkan “emosi” saya dan
fakta pendukungnya. Lalu bila saya ingin menulis dengan bahasa yang
dipanjang-panjangkan dan bertele-tele hingga terkesan lebih indah dari berita serta
kadang sifatnya sindiran yaa saya akan menulis cerpen. Dan bila ingin menulis
bahasa indah tetapi malas bertele-tele yaa saya tulis puisi. Jadi saya tidak
sependapat jika seorang penulis harus konsekuen dengan bidang tulisannya. Memang,
tulisan jurnalistik jauh berbeda dengan sastra. Namun menurut saya keduanya
hadir bukan untuk disekat namun untuk direkatkan. Karena tulisan jurnalistik
dan sastra bermula dari bidang yang sama, yaitu literasi.
Beberapa hari yang lalu seorang
teman saya bertanya, “Pernahkah mengalami kesulitan menulis?” Saya jawab;
SERING. Kenapa? Meskipun menulis sudah saya lakukan sejak SD namun setiap kali
menulis judul baru saya selalu memposisikan sebagai penulis baru. Penulis yang
tidak tahu apa-apa tentang teknik menulis. Hingga kemudian memaksa saya untuk
mencari data yang baru, mencari ide kreatif yang baru, analisis yang lebih
baru, dan menciptakan hasil tulisan yang baru yang sebelumnya jelas belum pernah
saya tulis. Semuanya baru. Jadi jangan takut merasa kesulitan menulis karena
itu merupakan awal dari keharusan kita menemukan hal-hal yang baru.
Jadi menurut saya, lupakan segala
tulisan yang lalu, jadilah yang baru disetiap judul tulisan yang baru. Gali semuanya.
Anggap belum pernah menulis. Jangan pikirkan teknik menulis yang baik di awal. Singkirkan
sejenak. Karena itu akan mematikan kreativitas. Tulis dulu semua apa yang bisa
ditulis. Saat editing, adalah waktu yang tepat untuk memperhatikan segala yang
tadi disingkirkan. Ini saya terapkan dalam menulis berita, beropini maupun
menulis cerpen dan puisi.
Tidak usah takut kehilangan ide. Ide
datang dengan sendirinya. Tangkap apa yang terlintas di benak kita. Tuangkan dalam
kalimat. Bikin yang sederhana tapi bikin penasaran. Meski saya akui, itu tak
mudah. Namun, itu akan menjadi mudah bila tahu kuncinya, yaitu membaca. Cari referensi
dari berbagai bacaan.
Bacaan apapun bisa dibaca. Jangan
membatasi diri. Seperti menulis, membaca juga saya lakukan semau saya. Saya ingin
baca koran, majalah atau buku filsafat yaa saya baca. Kalau saya merasa bosan,
saya letakkan. Begitu pula dengan buku kumpulan cerpen, puisi atau novel. Buku bacaan
itu bukan sekedar dibaca tapi dimengerti kenapa penulis menulis buku semacam
ini. Apa yang menarik di dalamnya lalu terapkan dalam tulisan. Jadi saya tidak
pernah bisa menyelesaikan buku yang dipinjam dari persewaan buku. Lain lagi
kalau komik, mungkin sehari bisa berkomik-komik.
Diakhir tulisan ini, saya akan
menutupnya dengan pertanyaan teman saya yang lain. Dia bertanya, “Bagaimana
mengawali sebuah tulisan?” Saya jawab, “BACALAH.” Kemudian dia bertanya
kembali, “Lalu?” Saya jawab lagi, “BACALAH.” Teman saya mulai mengerutkan
dahinya, “Lalu setelah membaca?” tanyanya. Saya jawab lagi, “BACALAH.” “Iya,
setelah membaca?” tanyanya mulai kesal. “Menulislah.”