0 komentar

Menulislah Dari Hati


Menulislah dari hatimu..
Menulislah apa saja yang dapat kau lihat, dengar dan rasakan..
(dHp)

Bagi saya, menulis adalah cara termudah untuk menggambarkan pikiran, perasaan dan tanda tanya. Dulu, ketika SD saya memaknai menulis sebatas curhat di buku diary. Saya memang suka curhat. Tapi lebih dari itu, saya suka menuliskan curhatan saya di sebuah buku kecil dan selalu saya simpan dalam laci meja belajar saya. Saya ingat, hampir tiap hari minimal sekali saya menulis di buku diary itu. Saya biasa menulis buku diary saat malam tepat sebelum saya tidur. Saya menulis apa yang saya kerjakan seharian itu. Bagaimana guru-guru saya di sekolah, teman sepermainan, kadang kejengkelan saya dengan orang tua, dan kadang pula tentang pria yang pernah saya sukai di jaman itu. Yaa.. kelas 5 SD adalah pertama kalinya saya suka memperhatikan lawan jenis saya. Dia senior saya, Aprilian namanya. Sekarang dia dimana yaa?? Hehe..
Selain menulis saya juga suka membaca. Saya langganan majalah Bobo ketika itu. Saya lupa dulu Bobo terbit bulanan atau mingguan ya? Kalau nggak salah, terbit mingguan, tiap hari Kamis. Yang jelas saya ingat, saya selalu menunggu Mas Pengantar Majalah ini di depan pagar rumah. Lalu halaman pertama yang akan saya baca adalah Cerita Nirmala Dari Negeri Dongeng lalu Bona dan Rong-Rong. Dulu saya selalu terkesima dengan 2 kisah itu. Mungkin kalau sekarang saya bisa mendeskripsikan keduanya adalah kisah yang sederhana dengan visualisasi yang mudah terekam dalam benak anak-anak. Hhmmm..ada yang masih ingat dengan kisah-kisah mereka?
Sekarang, saya semakin tahu bahwa menulis tidak sebatas buku diary dan membaca tidak sebatas bacaan sederhana dengan visualisasi yang menarik. Rasa penasaran saya muncul ketika saya dihadapkan dengan sesuatu. Kadang lebih dari itu, berawal dari emosi yang ingin saya luapkan dengan cara saya, yaitu lewat tulisan
Mudahnya begini, saya menulis tentang segalanya yang saya mau tulis. Saya ingin menulis berita yaa saya cari data kemudian saya tulis. Saya ingin beropini yaa saya kumpulkan “emosi” saya dan fakta pendukungnya. Lalu bila saya ingin menulis dengan bahasa yang dipanjang-panjangkan dan bertele-tele hingga terkesan lebih indah dari berita serta kadang sifatnya sindiran yaa saya akan menulis cerpen. Dan bila ingin menulis bahasa indah tetapi malas bertele-tele yaa saya tulis puisi. Jadi saya tidak sependapat jika seorang penulis harus konsekuen dengan bidang tulisannya. Memang, tulisan jurnalistik jauh berbeda dengan sastra. Namun menurut saya keduanya hadir bukan untuk disekat namun untuk direkatkan. Karena tulisan jurnalistik dan sastra bermula dari bidang yang sama, yaitu literasi.
Beberapa hari yang lalu seorang teman saya bertanya, “Pernahkah mengalami kesulitan menulis?” Saya jawab; SERING. Kenapa? Meskipun menulis sudah saya lakukan sejak SD namun setiap kali menulis judul baru saya selalu memposisikan sebagai penulis baru. Penulis yang tidak tahu apa-apa tentang teknik menulis. Hingga kemudian memaksa saya untuk mencari data yang baru, mencari ide kreatif yang baru, analisis yang lebih baru, dan menciptakan hasil tulisan yang baru yang sebelumnya jelas belum pernah saya tulis. Semuanya baru. Jadi jangan takut merasa kesulitan menulis karena itu merupakan awal dari keharusan kita menemukan hal-hal yang baru.
Jadi menurut saya, lupakan segala tulisan yang lalu, jadilah yang baru disetiap judul tulisan yang baru. Gali semuanya. Anggap belum pernah menulis. Jangan pikirkan teknik menulis yang baik di awal. Singkirkan sejenak. Karena itu akan mematikan kreativitas. Tulis dulu semua apa yang bisa ditulis. Saat editing, adalah waktu yang tepat untuk memperhatikan segala yang tadi disingkirkan. Ini saya terapkan dalam menulis berita, beropini maupun menulis cerpen dan puisi.
Tidak usah takut kehilangan ide. Ide datang dengan sendirinya. Tangkap apa yang terlintas di benak kita. Tuangkan dalam kalimat. Bikin yang sederhana tapi bikin penasaran. Meski saya akui, itu tak mudah. Namun, itu akan menjadi mudah bila tahu kuncinya, yaitu membaca. Cari referensi dari berbagai bacaan.
Bacaan apapun bisa dibaca. Jangan membatasi diri. Seperti menulis, membaca juga saya lakukan semau saya. Saya ingin baca koran, majalah atau buku filsafat yaa saya baca. Kalau saya merasa bosan, saya letakkan. Begitu pula dengan buku kumpulan cerpen, puisi atau novel. Buku bacaan itu bukan sekedar dibaca tapi dimengerti kenapa penulis menulis buku semacam ini. Apa yang menarik di dalamnya lalu terapkan dalam tulisan. Jadi saya tidak pernah bisa menyelesaikan buku yang dipinjam dari persewaan buku. Lain lagi kalau komik, mungkin sehari bisa berkomik-komik.
Diakhir tulisan ini, saya akan menutupnya dengan pertanyaan teman saya yang lain. Dia bertanya, “Bagaimana mengawali sebuah tulisan?” Saya jawab, “BACALAH.” Kemudian dia bertanya kembali, “Lalu?” Saya jawab lagi, “BACALAH.” Teman saya mulai mengerutkan dahinya, “Lalu setelah membaca?” tanyanya. Saya jawab lagi, “BACALAH.” “Iya, setelah membaca?” tanyanya mulai kesal. “Menulislah.”

0 komentar

Tulisan dari Suatu Hari..


“Kita besar di Agrica
Jadi kita harus membesarkan Agrica..”

Itu adalah sebait kalimat yang di ungkapkan Pimpinan Umum saya, Mas Arif Ardiawan. Kalimat yang ditulisnya via pesan singkat itu yang pada akhirnya membuat saya akhir-akhir ini berpikir. Layaknya pekerjaan kita di Agrica --pencari berita karena rasa ingin tahu, peduli dan emosi pribadi, tanpa bayaran—timbul 5W+1H dalam pikiran saya.

Apa yang bisa saya lakukan? Kapan saya mulai harus melakukan? Dimana seharunsya saya berada? Mengapa saya di sini? Siapa yang akan mendampingi saya nanti? Dan Bagaimana cara saya melakukannya?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang kemudian timbul-tenggelam dalam pikiran saya. Seperti ada magnet yang mau tak mau saya tertahan di sana, untuk berdiam sejenak memikirkannya. Terutama saat saya di kantor, sebuah sekre yang biasa tempat kita berkumpul.
Saat seperti ini kadang saya merasa begitu bodoh. Kenapa saya harus memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya bingung sendiri. namun semakin saya merasa begitu bingung lantas merasa bodoh, saya semakin menggalinya.
Saya teringat apa yang diucapkan mbah kala up gradding beberapa minggu yang lalu. “Yang saya dapatkan di Agrica banyak. Saya dapatkan Standy, Em, Pipit, Nhya, Dinacyl,” katanya sambil menunjuk mereka satu per satu. Dan inilah yang tidak saya sadari.
Sore ini saya sadar, seharusnya saya membuang jauh pertanyaan-pertanyaan yang saya buat sendiri tadi. Harusnya saya membuat pertanyaan yang lebih sederhana. “Apa yang sudah saya dapatkan di Agrica?”
“Saya mendapat pelajaran yang tidak saya dapatkan dari dosen di bangku kuliah. Tentang sebuah kerja keras, tanggung jawab, menghargai, keluarga, komitmen, visi, misi dan semua terangkum dalam sebuah kata Profesionalisme.”

Jurnalistik dan keluarga baru, adalah alasan sederhana saya bertahan..